FOUDA, PENGHILANG KEBENARAN


Oleh : Shiddiq Amien
Belum lama ini, sebuah buku karya Farag Fouda berjudul asli : Al-Haqiqah Al-Ghaybah  yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Novriantoni dan diterbitkan oleh Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan penerbit Dian Rakyat, dan diberi judul : “Kebenaran yang Hilang : Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin”, Sebuah buku yang penuh dengan tuduhan buruk terhadap sahabat Nabi saw.
Farag Fouda adalah seorang doktor ekonomi Pertanian dari Mesir. Dia dikenal sebagai juru bicara dari kaum liberal yang sangat vokal. Hidupnya berakhir tragis, ia ditembak mati pada 8 Juni 1992, setelah pada tanggal 3 Juni 1992 sejumlah ulama Al-Azhar menyatakan bahwa Fouda telah murtad dari Islam, karena pendapat-pendapatnya dinilai menghujat Islam. Fouda mengawali bukunya dengan sebuah mukaddimah yang menggambarkan niat sesungguhnya menulis buku tersebut, sebuah niat buruk. Ia sebenarnya  sudah menyadari bahwa bukunya itu akan menuai kritik dan protes dari umat Islam. Fouda nampaknya sudah menyiapkan informasi-informasi sesat yang dia poles seolah sebuah fakta kebenaran yang hilang. Dari judul bukunya saja sudah bisa ditebak Fouda ingin mengangkat apa yang ia nilai sebagai sisi gelap dari sejarah Islam. Jika kaum muslimin menilai zaman khulafaurrasyidin sebagai masa yang ideal, Fouda menggambarkan sebaliknya, dia menilainya sebagai masa yang meninggalkan banyak jejak yang memalukan.

Pada sampul depan dimuat pujian Prof.Dr. Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah dan Direktur Pascasarjana UIN Jakarta : “ Karya Farag Fouda ini secara kritis dan berani mengungkap realitas sejarah pahit pada masa Islam klasik. Sejarah pahit itu bukan hanya sering tak terkatakan di kalangan kaum muslim, tapi bahkan dipersepsikan secara sangat idealistik dan romantik. Karya ini dapat menggugah umat Islam untuk melihat sejarah lebih objektif, guna mengambil pelajaran bagi hari ini dan masa depan.”  Pada sampul belakang dimuat pujian yang lebih hebat dari Prof.Dr Syafi’i Maarif,Guru Besar Filsafat Sejarah Universitas Nasional Yogyakarta : “ Terlalu banyak alasan mengapa saya menganjurkan anda membaca buku ini. Satu hal yang pasti Fouda menawarkan “kacamata” lain untuk melihat sejarah Islam. Mungkin Fouda akan mengguncang keyakinan anda tentang sejarah Islam yang lazim dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali meminjam “ kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara lebih autentik , objektif dan komprehensif.”

 Kaum liberal di Indonesia begitu bergairah menyambut terbitnya buku ini, wartawan kawakan Goenawan Mohamad  salah satunya,  dalam kolom Catatan Pinggir di majalah Tempo yang terbit  Maret 2008, dan telah  dijadikan sebagai epilog buku ini ikut mempertajam gambaran hitam fitnah Fouda terhadap sahabat Rasulullah saw yang mulia, khususnya Utsman bin Affan  yang telah dijanjikan sebagai salah seorang calon penghuni surga,  menantu Rasulullah saw yang kaya dan dermawan . Goenawan menulis : “ Bila kaum ‘Islamis’ menggambarkan priode salaf itu sebagai zaman keemasan yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu Rizal Panggabean, priode itu ‘zaman biasa’. Bahkan sebenarnya tidak banyak yang gemilang dari masa itu, demikian kesimpulan Samsu Rizal, malah, ada banyak jejak memalukan. Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Utsman bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644 itu- melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang- berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para pembunuhnya bukan orang majusi, bukan pula orang yang murtad , tapi orang Islam sendiri yang sepakat memberontak. Mereka tak sekedar membunuh Utsman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 tahun itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi. Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqat al-Kubra karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang bebas dari keserakahan. Tatkala Utsman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.”

Di bagian lain Fouda melukiskan  dengan buruknya hubungan antara Ali bin Abi Thalib dengan Ibnu Abbas. Yang satu  adalah salah seorang Khulafaaurrasyidin, dan yang satunya adalah sahabat perawi sekian banyak hadits. Ketika Ali jadi khalifah keduanya berseteru. Ali menuduh Ibnu Abbas korupsi. Sementara Ibnu Abbas menuduh Ali telah banyak membunuh  banyak umat Islam. Belakangan Ibnu Abbas diketahui membawa harta negara ke Mekkah. Ia terlibat sekandal penggelapan keuangan Negara. Ketika tuduhan semakin gencar, tahu-tahu Ali terbunuh. Berikutnya Ibnu Abbas menjadi tamu kehormatan di Damaskus, pusat pemerintahan baru paska Khulafaurrasyidin.

Dalam tabligh Akbar yang diselenggarakan oleh Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia di mesjid al-Furqan Jakarta (17/10-09), Ustadz Asep Sobari, peneliti bidang sejarah INSISTS, alumnus Universitas Madinah, mengupas berbagai kecurangan dan keculasan Fouda dalam mengutip kitab-kitab rujukan dari Al-Thabri dan Ibnu Saad. Dengan gamblang, Asep menunjukkan bagaimana Fouda telah dengan sengaja mengambil sejumlah riwayat yang lemah dan tidak jelas sumbernya untuk mendukung opininya, lalu dia katakan sebagai fakta sejarah.  Fouda telah banyak mengutip riwayat minor dari salah satu sumber rujukan, tanpa  meneliti atau membandingkan dengan  riwayat-riwayat lain yang dimuat dalam sumber yang sama, apatah lagi dari sumber lain. Sebuah cara yang memang biasa digunakan kaum orientalis dalam menulis sejarah Islam. Salah satu contoh,  Ibnu Saad dalam Thabaqat-nya(3:77-78) menyebut beberapa riwayat dari Amr bin Abdullah dan al-Waqidi  dengan jelas menyatakan bahwa Utsman dimakamkan langsung malam harinya di Baqi’. Pernyataan Fouda bahwa Utsman dimakamkan di areal pekuburan Yahudi, tidak tercantum sama sekali dalam redaksi riwayat al-Waqidi yang dikutip Fouda, juga tidak terdapat dalam riwayat-riwayat lain yang disebut Al-Thabari. Ini salah satu fitnah dan kejahatan besar yang dilakukan Fouda dalam melecehkan menantu Nabi dan salah seorang sahabat terkemuka itu .

Tampaknya baik Azyumardi, Syafi’i maupun Goenawan tidak mengecek sendiri pada kitab Al-Thabari dan Ibn Sa’ad, mereka taken for granted, taklid buta kepada Fouda. Dengan penggambaran seperti di atas kita menangkap pesan, bahwa khalifah ke-3 dari Khulafaurrasyidin adalah seorang yang hina, sial, brengsek dan serakah. Seolah selama ribuan tahun, umat Islam itu tolol semua. Para ulama telah melakukan kecurangan, menyembunyikan fakta sejarah tentang sahabat Nabi saw. Seolah para orang tua muslim telah salah mengajar anak-anaknya untuk mencintai Nabi saw dan para sahabatnya, padahal kata mereka, sahabat Nabi  yang diagung-agungkan dan senantiasa dido’akan umat Islam itu manusia busuk dan haus kekuasaan.

Contoh kekeliruan Fouda lainnya, dia menggugat hadits tentang keutamaan suku Quraisy dalam masalah kekhalifahan, sebagai  hadits palsu dan sebuah keanehan yang sengaja dibuat untuk menjustifikasi kepemimpinan kaum Umawiyah dan Abasyiyah. Dia kemudian menunjuk perdebatan yang terjadi di Tsaqifah Bani Saidah sesaat setelah Nabi saw wafat, antara kaum Anshar yang telah berkumpul untuk memilih Saad bin Ubadah, pemuka Khazraj sebagai pemimpin mereka, dengan Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah al-Jarah, Fouda menggugat kalau hadits tentang keutamaan Quraisy itu memang ada, mengapa Abu Bakar tidak menjadikannya sebagai senjata ampuh untuk mengakhiri perdebatan itu ?  kalau hadits itu memang sahih, tidak mungkin Saad bin Ubadah berani mencalonkan diri menjadi pemimpin menggantikan kepemimpinan Rasulullah? Padahal begitu banyak riwayat, salah satunya Al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan : “Maka Abu Bakar tampil bicara… Dia meneyebutkan keutamaan kaum Anshar dan semua hadits tentang keutamaan kaum Anshar yang pernah dikatakan Rasulullah saw….Sungguh engkaupun sudah tahu wahai Sa’ad, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda : Suku Quraisy adalah penguasa urusan ini. Orang yang baik mengikuti orang baik di antara mereka, dan orang buruk mengikuti orang buruk di antara mereka. Sa’ad pun berkata : Engkau benar. Kami adalah para menteri, sedang kalian para penguasa.”

Sebagai muslim, kita tentu tidak sudi mengikuti jejak orang-orang penghina sahabat Nabi saw, dan menghimbau kepada mereka untuk segera beristighfar dan bertaubat, sebelum terlambat !



Share :