A. Fatih Syuhud
Fikih.
Di berbagai pesantren salaf di Indonesia, khususnya di Jawa, nama
ini merupakan satu disiplin ilmu yang paling diminati dan sangat popular.
Seorang santri rela ‘mendekam’ bertahun tahun, bahkan puluhan tahun, di pesantren
–dengan konsekuensi jadi bujang lapuk penuh sepi– untuk mendalami ilmu yang
satu ini. Ia tidak akan berani pulang kampung sebelum tuntas mengkaji secara
mendalam kitab-kitab fiqh standar madzhab Syafi’i.
Secara implisit bisa dipahami,
bahwa disiplin ilmu yang paling dituntut untuk dikaji dan didalami oleh seorang
kyai adalah ilmu fiqh. Dengan gelar K.H. bukan berarti ia bebas ongkang-ongkang
kaki. Ia harus terus belajar. Hal ini terjadi karena, pertama, ia kuatir ilmu
fiqh-nya kalah canggih sama santri-santrinya yang makin lama tambah kritis.
Kedua, dengan adanya era globalisasi dan hi-tech permasalahan di seputar
fiqh-pun semakin berkembang dan bertambah ruwet. Masyarakat di pedesaan menjadi
semakin maju dan kritis. Seiring dengan ini kyai-pun harus pula mengikuti main
stream informasi kontemporer serta mengaitkannya dengan metode fiqh (ushul
fiqh) dalam upaya untuk memberikan atau menawarkan solusi fiqh yang
memuaskan kepada masyarakat. Sebab kalau tidak mudeng (responsif) terhadap masalah-masalah
fiqh yang berkembang, tentu hal ini akan mengurangi respek masyarakat.
Fiqh begitu signifikan bagi kehidupan umat.
Hal ini terjadi karena fiqh merupakan piranti pokok yang mengatur secara
mendetail perilaku kehidupan umat selama dua puluh empat jam setiap harinya.
Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa fiqh adalah “Islam kecil” sedang Islam
itu sendiri sebagai “fiqh besar” dalam konteks bahwa Islam sebagai the way
of life para pemeluknya.
Pengertian dan Perkembangan Fiqh
Kata fiqh sebenarnya berasal dari kata bahasa
Arab, yaitu bentuk masdar (verbal noun) dari akar kata bentuk madhi (past
tense) faquha yang secara etimologis berarti mengerti, mengetahui, memahami
dan menuntut ilmu. Kata fiqh juga dianggap sinonim dengan kata ilmu. Dalam Al-Qur’an
terdapat dua puluh ayat yang memakai kata ini dengan pengertian makna literal
yang berbeda-beda tersebut. Namun ada satu ayat yang memiliki konotasi bahwa
fiqh adalah ilmu agama yakni pada ayat QS. 9:13. Tetapi pengertian ilmu agama
pada ayat ini masih sangat luas, meliputi berbagai ilmu agama secara umum. Ia
bisa berarti ilmu tasawwuf atau sufisme (tariqat) sebagaimana yang dikatakan
ahli sufi Farqad (wafat 131 hijriah) pada Hasan Al-Bashri (w. 110 h.). Fiqh dapat juga berarti ilmu kalam (tauhid atau
teologi), dan sebagainya.
Dari sini bisa dipahami bahwa pada awal
perkembangan Islam, kata fiqh belum bermakna spesifik sebagai “ilmu hukum Islam
yang mengatur pelaksanaan ibada-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail
perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram,
makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat
(muamalat). Hal ini bisa dimaklumi mengingat pada waktu itu para Sahabat Nabi
tidak atau belum membutuhkan suatu piranti ilmu tertentu untuk mengatur
kehidupan mereka. Mereka tinggal melihat dan mencontoh perilaku sehari-hari
kehidupan Nabi, sebab pada beliaulah terletak wujud paling ideal Islam. Para
Sahabat Nabi dapat menikmati secara live implementasi paling pas dan
utuh peri kehidupan Islami; dari cara berwudlu, shalat, puasa, haji,
berinteraksi dengan tetangga, dengan sesama Muslim, sampai pada hal-hal yang
bersifat bisnis dan politis.
Pada awal perkembangan Islam, khususnya pada
era Nabi, Islam belum menyebar secara luas dan cepat seperti pada dekade-dekade
berikutnya. Sehingga persoalan-persoalan hukum baru belum muncul dan dengan
demikian perbedaan pendapatpun belum mencuat ke permukaan. Setelah Nabi wafat,
para sahabat menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, banyak dari mereka yang
kemudian menempati posisi sebagai intelektual dan pemimpin agama. Di
daerah-daerah baru Islam ini, persoalan-persoalan baru mulai bermunculan. Namun
demikian, para Sahabat berusaha sebaik-baiknya (ijtihad) untuk memberi
keputusan legal agama berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah atau Hadits Nabi.
Di sini, perbedaan pendapat antara opini Sahabat di satu daerah dengan opini
Sahabat di daerah lain mulai mencuat. Seperti perbedan yang terjadi antara
Sahabat Ibnu Abbas dengan Ibnu Mas’ud tentang masalah riba. Juga antara Sahabat
Umar Ibnu Khattab dengan Zayd Ibnu Tsabit tentang arti quru’ untuk masa
menunggu (Arab, Iddah) bagi istri yang dicerai. Kendatipun begitu
perbedaan-perbedaan tersebut tidak keluar dari spirit Al-Qur’an dan sunnah.
Pada masa generasi sesudah Sahabat atau lebih
populer dengan istilah Tabi’in, timbullah tiga divisi besar secara geografis di
dunia Islam, yaitu Irak, Hijaz dan Syria. Di mana masing-masing mempunyai
aktivitas legal yang independen. Di Irak kemudian terdapat dua golongan fiqh
yaitu di Basrah dan Kufah. Di Syria aktivitas hukumnya tidak begitu dikenal
kecuali lewat karya-karya Abu Yusuf.
Sedangkan di Hijaz terdapat dua pusat aktivitas hukum yang sangat
menonjol yaitu di Makkah dan Madinah. Di antara keduanya, Madinah lebih terkenal
dan menjadi pelopor dalam perkembangan hukum Islam di Hijaz. Malik bin Anas
atau Imam Malik (w.179 h./795 m.) pendiri madzhab Maliki adalah eksponen
terakhir dari ahli hukum golongan Madinah. Sedangkan dari kalangan ahli fiqh
Kufah terdapat nama Abu Hanifah.
Beberapa tahun kemudian muncullah nama
Muhammad bin Idris Ash-Shafi’i (w.204 h/ 820 m.) atau Imam Syafi’i pendiri
madzhab Syafi’iah yang merupakan salah satu murid Imam Malik. Kemudian
muncullah nama Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (w.241 h./ 855 m.), atau Imam
Hambali, pendiri madzhab Hanabalah. Beliau adalah murid Imam Syafi’i. Pada saat
munculnya empat pendiri madzhab fiqh dan kumpulan hasil-hasil karya mereka
inilah, diperkirakan istilah fiqh dipakai secara spesifik sebagai satu disiplin
ilmu hukum Islam sistematis, yang dipelajari secara khusus sebagaimana
dibutuhkannya spesialisasi untuk mendalami disiplin-disiplin ilmu yang lain.
Setelah tahun 241 hijriah atau 855 masehi,
yaitu tahun wafatnya pendiri madzhab fiqh terakhir, Imam Hanbali, maka berakhir
pulalah era para pakar hukum Islam yang independen (mujtahid mutlaq).
Secara factual, para ahli fiqh setelah itu cukup berafiliasi pada salah
satu metode pengambilan hukum (ushul fiqh) yang ditetapkan oleh Imam
madzhab yang empat di atas.
Pada saat yang sama kompilasi serta studi
kritis terhadap hadits-hadits Nabi mulai mendapatkan momentum. Dari sini
muncullah nama-nama perawi (pengumpul) Hadits terkenal seperti Abu Abdullah
Muhammad Abu Ismail al-Bukhari atau Imam Bukhari (w.256 h.), Muslim Ibn
al-Hajjaj atau Imam Muslim (w.261 h.), Tirmidzi (w.279 h.), Abu Dawud (w.279
h.), Ibnu Majah (w.273), Nasai’I (w.303 h.). Kumpulan Hadits-hadits mereka
terkenal dengan sebutan Kutub as-Sittah atau Enam Kitab Kumpulan
Hadits-hadits Nabi. Enam kodifikasi Hadits ini oleh para pakar fiqh pasca Imam
Madzhab yang empat diambil sebagai salatu sumber rujukan utama di dalam membuat
aktivitas hukum Islam.
Pada prinsipnya keempat
madzhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) secara substantif tidaklah
berbeda, yang berbeda satu sama lain hanya menyangkut hal-hal detail (furu').
Kesamaan substantif ini terutama berkaitan dengan sumber-sumber hukum yang
mereka pakai dalam melaksanakan aktivitas hukumnya: al-Qur’an,
al-Hadits, Ijma’ (konsensus
ulama) dan Qiyas (analogi). Sumber hukum yang keempat ini akan
diberlakukan apabila terjadi suatu kasus yang solusinya tidak ditemukan dalam
sumber hukum yang tiga.
Berdasarkan keempat sumber hukum inilah para
pakar hukum Islam atau pakar ahli fikih menetapkan keputusan-keputusan hukum
yang senantiasa berkembang selaras dengan perkembangan zaman. Dari sini,
muncullah ratusan bahkan ribuan kitab-buku tentang hukum Islam atau fikih
sebagai antisipasi serta respon ahli fikih terhadap persoalan-persoalan hukum
pada masing-masing zamannya.
Dari kalangan madzhab Syafi’i (madzhab yang
dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia), terbit ratusan bahkan ribuan buku
fikih, hasil karya ulama-ulama fikih terdahulu. Kitab-kitab ini–yang di
kalangan pesantren di sebut kitab kuning – menjadi pokok kajian para santri di
pesantren salaf, sebagaimana telah disinggung pada awal tulisan ini.
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan
bahwa perkembangan ilmu fikih terbagi dalam empat periode. Periode pertama
dimulai dari hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah (966 m.) dan berakhir ketika
beliau wafat (632 m.). Periode ini merupakan masa legislative Islam, di mana
prinsip-prinsip hukum Islam telah ditanam oleh Tuhan melalui al-Qur’an dan
hadits Nabi.
Periode kedua sejak wafatnya Nabi (pada awal
munculnya fikih empat madzhab), meliputi masa Sahabat dan Tabi’in. Periode
ketiga, pada abad kedua dan ketiga hijrah, ditandai dengan munculnya
studi-studi ilmu hukum Islam secara teoritis dan sistematis yang mengarah pada
tegaknya empat madzhab Sunni yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Pada
periode inilah istilah ‘fikih’ menjadi spesifik untuk ilmu hukum Islam, dan
pada era ini pula istilah Syariah mulai diidentikkan dengan fikih.
Periode keempat bermula dari abad keempat
hijrah sampai sekarang. Para ahli fikih mulai sibuk mengembangkan metode
pengambilan hukum hasil karya para pendiri madzhab yang empat dan tidak lagi
memakai metode-metode hukum yang independen dalam segala aktivitas hukumnya.
Fikih dalam Wacana Kontemporer
Zaman terus berubah dan berkembang. Dan kini,
eksistensi kitab kuning dalam sorotan. Di satu sisi, ia tetap menjadi “materi
wajib” bagi umat Islam tradisional (baca: santri-pesantren) dalam menjawab
berbagai macam problematika kehidupan umat Islam. Mereka (sepertinya) meyakini
bahwa semua permasalahan umat masih bisa dijawab oleh khazanah-khazanah klasik
itu. Di sisi lain, kelompok Islam modernis (liberalis) justeru “setengah hati”
dengan kitab kuning. Bagi mereka, tidak semua permasalahan di zaman serba mesin
ini mampu dijawab dan direspon oleh kitab yang dikarang pada ratusan tahun yang
silam, ketika zaman masih “sederhana”. Oleh karenanya, kata kelompok terakhir,
diperlukan kajian atau bahkan ijtihad baru, karena kitab kuning lahir dan
tercipta untuk menjawab permasalahan di masanya, sedangkan “al-hukmu yaduru
ma’a illatihi: wujudan wa adaman”.
Kalangan pesantren seakan enggan bersinggungan
dengan kitab-kitab fiqh kontemporer. Sebaliknya, kelompok modernis juga merasa “gengsi” mengkaji kitab klasik.
Dan kesenjangan pun lahir. Siapa yang benar dan siapa yang salah? Tak mudah
mencari jawabnya. Dan mereka tak sepenuhnya salah. Yang salah di sini adalah
sifat ekstrem dalam keduanya. Ironis. Yang salah adalah oknum pesantren yang
menganggap kitab kuning adalah sabda agama yang sakralitasnya nyaris menyamai
al-Qur’an, sehingga tidak perlu digugat dan dipermasalahkan keabsahannya.
Maka, ketika kitab kuning sudah berbicara, ia seakan menjadi konsensus dari
semua permasalahan. Kelompok ini cenderung berpikir hitam-putih serta halal-haram.
Mereka seakan lupa (atau memang pura-pura lupa) bahwa kitab kuning yang menjadi
simbol kebangggan mereka, dikarang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi
pada waktu itu.
Di lain pihak, kalangan islam liberal
(mungkin) terlalu kebablasan dalam menolak karangan ulama salaf. Mereka
beranggapan bahwa hukum adalah milik akal, sehingga setiap orang mampu membuat
dan mencetak hukum asalkan masih berpijak pada maslahah-mafsadah (dalam
persepsi otak mereka sendiri). Kelompok ini juga berpandangan bahwa ulama-ulama
dulu juga manusia biasa yang karangannya
masih perlu dikritisi dan dikaji ulang, sehingga diperlukan ijtihad baru yang
lebih toleran dan elegan. Mereka menganggap bahwa semua orang berhak berijtihad
sesuai dengan kehendaknya. Toh, kata mereka, jika ternyata ijtihadnya salah
masih mendapat satu pahala.
Pertanyaan selanjutnya adalah, “Seberapa
pantaskah mereka melakukan ijtihad?”Sudah
cukupkah kapasitas keilmuan mereka untuk mengkaji hukum agama dari
sumber aslinya? Ijtihad bukan barang murahan yang bisa dilakukan oleh
siapapun. Ada banyak kriteria yang harus
dipenuhi oleh calon mujtahid.
Dus, diperlukan kearifan
untuk menjembatani kesenjangan yang terjadi, misalnya kalangan pesantren sudah
mau membuka diri untuk mengenal dan mengkaji fiqih kontemporer serta melepas
“baju” fanatisme yang berlebihan terhadap eksistensi kitab kuning, karena walau
bagaimanapun kitab kuning tidak bisa dipaksa untuk menjawab semua permasalahan
global. Dalam hal ini, langkah strategis telah ditempuh oleh pesantren dengan
melakukan istinbat jama'i (sistem penggalian hukum secara kolektif)
seperti yang diisyaratkan hasil Munas Alim Ulama NU di Lampung beberapa tahun
yang lalu.
Kiranya, istinbat jama'i ini menjadi solusi alternatif untuk mensiasati
dan menjembatani kesenjangan-dalam satu sisi-dan membuka kran pemikiran kaum
pesantren dalam menjawab problematiaka sosial -di sisi yang lain- walaupun
harus tetap berpijak pada landasan “almuhafadlah
ala al-qadim as-sholeh, wal akhd bi al-jadid al-ashlah". Wallahu
a’lam.
A. Fatih Syuhud, alumni Sidogiri 1989 dan
kandidat Doktor, Insitute of Islamic Studies, Jamia Millia University, New
Delhi, India.
Buletin Istinbat, Edisi 094 & 096
Dari Muadz bin Jabal,”Bahwa Rasulullah saw. pada waktu perang Tabuk (pada
waktu safar), apabila sudah tergelincir matahari sebelum pergi, maka
beliau menjamak zhuhur dan ashar (pada waktu zhuhur), dan apabila pergi
sebelum matahari tergelincir, maka beliau mengakhirkan zhuhur hingga datang
waktu ashar. Dan demikian pula pada waktu magrib seperti itu....”. H.r Abu Daud
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ
إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ
Dari
Ibnu Abbas, ia berkata,”Rasulullah saw. pernah menjamak shalat zuhur dan ashar apabila
beliau berada di “tengah” perjalanan dan menjamak antara maghrib dan isya”.
H.r. Al-Bukhari
عَنْ
أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ e إِذَا أَرَادَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ
فِي السَّفَرِ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَدْخُلَ أَوَّلُ وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَجْمَعُ
بَيْنَهُمَا. رواه مسلم
Dari Anas, ai
berkata,”Nabi saw. itu apabila hendak menjamak antara dua shalat pada waktu
safar, maka beliau mengakhirkan zuhur hingga masuk awal waktu ashar kemudian
menjamak keduanya’. H.r. Muslim
عَنْ
سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ e يَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِذَا
جَدَّ بِهِ السَّيْرُ
Dari SAlim dari Bapaknya,
ia berkata,”Nabi saw. pernah menjamak antara maghrib dan isya apabila
disebarkan oleh perjalannya”. H.r. Al-Bukhari
عَنْ
أَسْلَمَ قَالَ كُنْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
بِطَرِيقِ مَكَّةَ فَبَلَغَهُ عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ أَبِي عُبَيْدٍ شِدَّةُ وَجَعٍ
فَأَسْرَعَ السَّيْرَ حَتَّى كَانَ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّفَقِ نَزَلَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ
وَالْعَتَمَةَ جَمَعَ بَيْنَهُمَا ثُمَّ قَالَ إِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ e
إِذَا
جَدَّ بِهِ السَّيْرُ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ وَجَمَعَ بَيْنَهُمَا. رواه البخاري
Dari Aslam, ia
berkata,”Aku pernah bersama Abdullah bin Umar di jalan (menuju) mekkah.
Kemudian sampai kepadanya Syiddatu waja’in (yang sakit) dari shafiyyah binti
Abu Ubaid. Lalu ia menyegerakan perjalanannya hinnga setelah hilang syafaq
(masuk waktu isya) Ibnu Umar turun lalu shalat maghrib dan isya, ia menjamak
keduanya, kemudian ia berkata,”Sesungguhnya aku melihat Nabi saw. apabila
direpotkan oleh perjalananya, maka beliau akan mengakhirkan maghrib (kepada
waktu isya) dan menjamak kedunya”.
Hadis-hadis yang menerangkan Rasulullah saw. menjamak
shalatnya pada waktu safar sangatlah banyak dan hadis-hadisnya sahih. Ada
shalat-shalat yang dijamak takdim dan ada pula yang dijamak takhir. Akan tetapi
masalahnya sama dengan di atas, memahami hadis-hadis tentang Rasul saw.
menjamak, jangan menyimpulkan dengan satu hadis dengan mengabaikan yang
lainnya.
Sebagian hadis hanya menerangkan Rasulullah saw. menjamak
shalat. Sedangkan hadis yang lainnya menerangkan dengan penyebabnya, malah
diterangkan dengan kronologisnya. Dengan hadis-hadisnya di atas, penulis
berpendapat bahwa Rasulullah saw. menjamak shalatnya itu ada penyebab atau
udzurnya. Yang pasti penyebabnya bukan safar semata-mata tapi ada penyebab atau
illat yang lainnya, karena safar illah untuk qashar sedangkan jamak karena
hajat, illat atau penyebab yang lainnya, baik dilakukan pada waktu safar atau
di tempat sendiri.
Menjamak Dua Salat dengan satu Adzan dan dua Iqamat
Mengumandangkan adzan dan iqamat memang bukan syarat atau
rukun shalat, tapi merupakan ibadah yang hukumnya sunat apabila hendak
melaksanakan shalat wajib baik berada di tempat sendiri maupun pada waktu
safar. Pada asalnya satu adzan untuk satu shalat begitu juga halnya iqamah.
Namun apabila shalatnya dijamak maka adzan cukup satu kali sedangkan iqamah
dilakukan tetap untuk setip kali melakukan shalat wajib.
عَنْ
جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ e
الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ بِعَرَفَةَ وَلَمْ
يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا وَإِقَامَتَيْنِ وَصَلَّى الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ
بِجَمْعٍ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا.
Dari JA’far bin Muhamad dari bapaknya,”Bahwa Nabi saw. salat zhuhur dan
ashar di Arafah dengan satu adzan dan dua Iqamat dan beliau tidak salat sunat
di antara keduanya. Dan beliau pun salat maghrib dan isya dengan jamak dengan
satu adzan dan dua iqamah dan belaiu tidak salat sunnat di antara keduanya”. H.r.
Muslim, Abu Daud dan An-Nasai
Penulis: Amin Muchtar
Walloohu A'lamu bish Shawab