TERBAGI DUA BAGIAN
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i - mujtahid besar dan pendiri madzhab Syafi’i yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jama’ah di dunia Islam -, berkata:
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ
اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا
أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ،
وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ
هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب
" مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian.
Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi
Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka
yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua:
Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun
Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh
al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib
asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain
al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ:
بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ
مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua
macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan
Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah
tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah
menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari
seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama
dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka,
seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab
al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya
Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih
as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli
bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
2. Al-Imam al-Hafizh
Muhammad bin Ahmad al-QurthubiKetika mengomentara pendapat al-Imam asy-Syafi’i, al-Qurthubi berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan asy-Syafi’i tentang pembagian bid’ah), saya katakan bahwa makna Hadits Nabi SAW yang berbunyi ‘Seburuk-buruk perkara adalah hal yg baru, semua hal yang baru adalah Bid’ah, dan semua Bid’ah adalah sesat’ bermaksud hal-hal yang tidak sejalan dengan al-Qur’an, Sunnah Rasul SAW dan perbuatan Sahabat Rasul.
Sesungguhnya hal ini telah diperjelas oleh Hadits lainnya, yaitu “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya.”. Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai terbaginya Bid’ah pada Bid’ah yang baik dan Bid’ah yang sesat”.[ Tafsir al-Imam al-Qurthubi, II : 87.]
3. Al-Imam Ibn Abdilbarr.
Al-Imam Abu Umar Yusuf bin Abdilbarr Al-Namiri Al-Andalusi, hafizh dan faqih bermadzhab Maliki. Beliau membagi bid’ah menjadi dua. Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan pernyataan beliau:
وَأَماَّ قَوْلُ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ فِيْ لِسَانِ الْعَرَبِ اِخْتِرَاعُ مَا لَمْ يَكُنْ وَابْتِدَاؤُهُ فَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ فِي الدِّيْنِ خِلاَفاً لِلسُّنَّةِ الَّتِيْ مَضَى عَلَيْهَا الْعَمَلُ فَتِلْكَ بِدْعَةٌ لاَ خَيْرَ فِيْهَا وَوَاجِبٌ ذَمُّهَا وَالنَّهْيُ عَنْهَا وَاْلأَمْرُ بِاجْتِنَابِهَا وَهِجْرَانُ مُبْتَدِعِهَا إِذَا تَبَيَّنَ لَهُ سُوْءُ مَذْهَبِهِ وَمَا كَانَ مِنْ بِدْعَةٍ لاَ تُخَالِفُ أَصْلَ الشَّرِيْعَةِ وَالسُّنَّةِ فَتِلْكَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ.
“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah, maka itu sebaik-baik bid’ah.” (Al-Istidzkar, 5/152).
4. Al-Imam Al-Nawawi.
Al-Imam Al-Nawawi juga membagi bid’ah pada dua bagian. Ketika membicarakan masalah bid’ah, dalam kitabnya Tahdzib Al-Asma’ wa al-Lughat (3/22), beliau mengatakan:
هِيَ أَيِ الْبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى حَسَنَةٍ وَقَبِيْحَةٍ.
“Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk)”.
5. Al-Hafizh Ibn Al-Atsir Al-Jazari.
Al-Imam Al-Hafizh Ibn Al-Atsir Al-Jazari, pakar hadits dan bahasa, juga membagi bid’ah menjadi dua bagian; bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Dalam kitabnya, Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar, beliau mengatakan:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ
بِدْعَةُ هُدًى وَبِدْعَةُ ضَلاَلٍ فَمَا كَانَ فِيْ خِلاَفِ مَا أَمَرَ اللهُ
بِهِ وَرَسُوْلِهِ فَهُوَ مِنْ حَيْزِ
الذَّمِّ وَاْلإِنْكَارِ وَمَا كَانَ وَاقِعًا تَحْتَ عُمُوْمٍ مِمَّا نَدَبَ اللهُ
إِلَيْهِ وَحَضَّ عَلَيْهِ اللهُ وَرَسُوْلُهُ
فَهُوَ فِيْ حَيْزِ الْمَدْحِ وَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثَالٌ مَوْجُوْدٌ
كَنَوْعٍ مِنَ الْجُوْدِ وَالسَّخَاءِ وَفِعْلِ الْمَعْرُوْفِ فَهُوَ فِي
اْلأَفْعَالِ الْمَحْمُوْدَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ فِيْ خِلاَفِ
مَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِهِ
“Bid’ah ada dua
macam; bid’ah huda (sesuai petunjuk agama) dan bid’ah dhalal (sesat). Maka
bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah, tergolong bid’ah tercela
dan ditolak. Dan bid’ah yang berada di bawah naungan keumuman perintah Allah
dan dorongan Allah dan Rasul-Nya, maka tergolong bid’ah terpuji. Sedangkan
bid’ah yang belum pernah memiliki kesamaan seperti semacam kedermawanan dan
berbuat kebajikan, maka tergolong perbuatan yang terpuji dan tidak mungkin hal
tersebut menyalahi syara’.”6. Al-Hafizh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki.
Al-Imam Al-Qadhi Abu Bakar Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki, seorang hafizh, mufassir dan faqih madzhab Maliki, juga membagi bid’ah menjadi dua bagian. Dalam kitabnya ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Jami’ Al-Tirmidzi, X : 146-147., beliau berkata:
“Ketahuilah bahawa Bid‘ah (al-muhdatsah)
itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara baru yang diadakan yang tidak
memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati, ini adalah
Bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang diadakan namun sejalan dengan apa
yang sudah disepakati, seperti yang dilakukan oleh para Khulafa’urrasyidin dan
para Imam besar, maka hal tersebut bukanlah bid‘ah yang keji dan tercela.
Ketahuilah, sesuatu itu tidak dihukumi bid’ah hanya karena ia baru.
Allah SWT berfirman:
مَا يَأْتِيْهِمْ مِنْ ذِكْرٍ
مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلاَّ اسْتَمَعُوْهُ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ
“Tidak datang kepada mereka suatu ayat
al-Qur`an pun yang baru (muhdats) dari Tuhan mereka, melainkan mereka
men-dengarnya, sedang mereka bermain-main” (QS. al-Anbiya`: 2).
Dan perkataan Sayyidina `Umar RA:
“Alangkah bagusnya bid‘ah ini!” Kesimpulannya, Bid‘ah tercela hanyalah perkara
baru yang bertentangan dengan Sunnah, atau perkara baru yang diadakan dan
membawa kita pada kesesatan.”
7.
Hujjatul-Islam al-Imam al-Ghazali.
Ketika mengulas masalah penambahan
‘titik’ pada huruf ayat-ayat al-Qur’an, al-Imam al-Ghazali berkata: “Hakikat
bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah menghalanginya untuk
dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang terpuji, seperti sembahyang Terawih
secara berjama’ah, ia adalah “Bid‘ah” yang dilakukan oleh Sayyidina`Umar RA,
tetapi dipandang sebagai Bid’ah yang baik (Bid‘ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang
dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah
SAW atau yang bisa merubah Sunnah itu. [Al-Ghazzali,
“Ihya’ `Ulumiddin, I : 276.]
Al-Imam Badruddin Mahmud bin Ahmad Al-‘Aini, hafizh dan faqih bermadzhab Hanafi membagi bid’ah menjadi dua bagian. Beliau mengatakan:
وَالْبِدْعَةُ فِي اْلأَصْلِ
إِحْدَاثُ أَمْرٍ لَمْ يَكُنْ فِيْ زَمَنِ رَسُوْلِ اللهِ ثُمَّ الْبِدْعَةُ عَلَى
نَوْعَيْنِ إِنْ كَانَتْ مِمَّا يَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ
فَهِيَ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا يَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ
فِي الشَّرْعِ فَهِيَ بِدْعَةٌ مُسْتَقْبَحَةٌ
“Bid’ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah
ada pada masa Rasulullah. Kemudian bid’ah itu ada dua macam. Apabila masuk
dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’, maka disebut bid’ah
hasanah. Dan apabila masuk di bawah naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh
syara’, maka disebut bid’ah tercela.” (‘Umdat Al-Qari, 11/126).
9. ar-Rabi`
ar-Rabi`juga meriwayatkan dari al-Imam
asy-Shafi`i bahwa beliau berkata: “Perkara baharu yang diada-adakan itu ada dua
macam: Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar
Sahabat atau ijma’ ulama’, maka bid‘ah itu adalah sesat (fa hadhihil-bid‘atu
dalalatun). Kedua, perkara baru yang diadakan dari segala kebaikan (ma uhditsa
min al-khair) yang tidak bertentangan dengan hal yang disebutkan, yang ini
bukan bid‘ah dicela (wa hadhihi muhdatsatun ghairu madzmumah).[ Diriwayatkan
dari al-Rabi` oleh al-Bayhaqi didalam “al-Madkhal” dan “Manaqib asy-Syafi`i, I
: 469 dengan sanad shahih dan dishahihkan juga oleh Ibnu Taimiyyah dalam “Dar’u
Ta`arud al-`Aqli wan-Naqli, hal. 171 dan melalui al-Baihaqi oleh Ibn `Asakir
dalam “Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam
“Siyar”, VIII : 408, Ibnu Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam, II : 52-53,
Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253.]
Ibn Hazm al-Zahiri berkata: “Bid‘ah dalam agama adalah segala hal yang datang pada kita dan tidak disebutkan didalam al-Qur’an atau Hadits Rasulullah SAW. Ia adalah perkara yang sebagiannya memiliki nilai pahala, sebagaimana yang diriwayatkan dari Sayyidina`Umar RA: “Alangkah baiknya bid‘ah ini!.” Ia merujuk pada semua amalan baik yang dinyatakan oleh nash (al-Qur’an dan Hadits) secara umum, walaupun amalan tersebut tidak ddijelaskan dalam nas secara khusus. Namun, Di antara hal yang baru, ada yang dicela dan tidak dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang melarangnya. [Ibnu Hazm, “al-Ihkam fi Usul al-Ahkam”, I : 47.]
BID’AH
TERBAGI LIMA
BAGIAN
1. Al-Imam Izzuddin bin
Abdissalam.Bahkan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam membagi bid’ah menjadi lima bagian. Dalam pandangan beliau bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian; bid’ah wajibah, bid’ah mandubah (sunnat), bid’ah mubahah, bid’ah makruhah dan bid’ah muharramah (haram). Dalam hal ini beliau mengatakan:
اْلبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ
يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ الله وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى: بِدْعَةٍ
وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوْبَةٍ، وَبِدْعَةٍ
مَكْرُوْهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ، وَالطَّرِيْقُ فِيْ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ
تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ
قَوَاعِدِ اْلإِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ
التَّحْرِيْمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمَنْدُوْبِ
فَهِيَ مَنْدُوْبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاِعِد الْمُبَاحِ فَهِيَ
مُبَاحَةٌ. وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ:
أَحَدُهَا: اْلاِشْتِغَالُ
بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يُفْهَمُ بِهِ كَلاَمُ اللهِ وَكَلاَمُ رَسُوْلِهِ
وَذَلِكَ وَاجِبٌ لأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ وَلاَ يَتَأَتَّى حِفْظُهَا
إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَمَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ
وَاجِبٌ.
الْمِثالُ الثاَّنِيْ:
الْكَلاَمُ فِيْ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْل لِتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ
السَّقِيْمِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمُحَرَّمَةِ
أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا مَذْهَبُ الْقَدَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْجَبَرِيَّةِ،
وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُرْجِئَةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُجَسِّمَةِ. وَالرَّدُّ
عَلىَ هَؤُلاَءِ مِنْ البِدَعِ الوَاجِبَةِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمَنْدُوْبَةِ
أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا: إِحْدَاثُ
الْمَدَارِسِ وَبِنَاءُ الْقَنَاطِرِ، وَمِنْهَا كُلُّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ
فِي الْعَصْرِ اْلأَوَّلِ، وَمِنْهَا صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ..
وَلِلْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ
أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ، وَمِنْهَا تَزْوِيْقُ الْمَصَاحِفِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ
أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيْذِ مِنَ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ
وَالْمَلاَبِسِ وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسِ الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعِ
اْلأَكْمَامَ.."أ.هـ
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah
dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah . Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah
wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah
mubahah. Dan jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bid’ah
pada kaedah-kaedah syariat. Apabila bid’ah itu masuk pada kaedah wajib, maka
menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk pada kaedah haram, maka bid’ah
muharramah. Apabila masuk pada kaedah sunat, maka bid’ah mandubah. Dan apabila
masuk pada kaedah mubah, maka bid’ah mubahah.Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah . Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.
Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran orang-orang Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bid’ah-bid’ah tersebut termasuk hukumnya wajib
Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan sekolah-sekolah dan setiap kebaikan yang pernah dikenal pada abad pertama, dan di antaranya shalat tarawih.
Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf Al-Quran.
Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran dan lain-lain.” (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/133)
Pandangan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam ini yang membagi bid’ah menjadi
2. Ibn Hajar Al-‘Asqalani.
Al-Imam Ibn Hajar Al-‘Asqalani, hafizh dan faqih bermadzhab Syafi’i. Beliau membagi bid’ah menjadi dua, bahkan menjadi
وَالْبِدْعَةُ أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْعِ فِيْ مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ وَإِلاَّ فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ.
“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi
3. Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi berkata: Bid‘ah -menurut syari‘at- adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.”
Beliau melanjutkan: “
4. Al-Imam Al-Shan’ani.
Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Shan’ani, muhaddits dan faqih bermadzhab Zaidi, juga membagi bid’ah menjadi
الْبِدْعَةُ لُغَةً: مَا
عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ، وَالْمُرَادُ بِهَا هُنَا: مَا عُمِلَ مِنْ
دُوْنِ أَنْ يَسْبِقَ لَهُ شَرْعِيَّةٌ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ وَقَدْ قَسَّمَ
الْعُلَمَاءُ الْبِدْعَةَ عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ: وَاجِبَةٍ كَحِفْظِ
الْعُلُوْمِ بِالتَّدْوِيْنِ وَالرَّدِّ عَلىَ الْمَلاَحِدَةِ بِإِقَامَةِ
اْلأَدِلَّةِ، وَمَنْدُوْبَةٍ كَبِنَاءِ الْمَدَارِسِ، وَمُبَاحَةٍ
كَالتَّوْسِعَةِ فِيْ أَلْوَانِ الطَّعَامِ وَفَاخِرِ الثِّيَابِ، وَمُحَرَّمَةٍ
وَمَكْرُوْهَةٍ وَهُمَا ظَاهِرَانِ؛ فَقَوْلُهُ: «كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ»
عَامٌّ مَخْصُوْصٌ
“Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa
mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah di sini adalah sesuatu yang
dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan Sunnah. Dan
ulama telah membagi bid’ah menjadi lima bagian: 1) bid’ah wajib seperti
memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap
kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil, 2) bid’ah mandubah
seperti membangun madrasah-madrasah, 3) bid’ah mubahah seperti menjamah makanan
yang bermacam-macam dan baju yang indah, 4) bid’ah muharramah dan 5) bid’ah
makruhah, dan keduanya sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadits “semua bid’ah
itu sesat”, adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya.” (Subul Al-Salam,
2/48).
KESIMPULAN: Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa para ulama
terkemuka dalam setiap kurun waktu mulai dari Al-Imam Al-Syafi’i, Ibn
Abdilbarr, Ibn Al-‘Arabi, Ibn Al-Atsir, Izzuddin bin Abdissalam, Al-Nawawi,
Al-Hafizh Ibn Hajar, Al-‘Aini, Al-Shan’ani, dan masih banyak ulama-ulama lain
yang tidak dikutip di sini, membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah hasanah
dan bid’ah madzmumah. Dan bahkan lebih rinci lagi, bid’ah itu dapat
dibagi menjadi lima
bagian sesuai dengan jumlah hukum-hukum yang berlaku dalam agama.
Saudaraku, Ketika kita sama-sama berguru dan berpendapat menurut guru, maka bersyukurlah karena kita berguru pada Imam-imam besar seperti asy-Syafi’i sang perintis madzhab, an-Nawawi sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih Muslim, al-Ghazali sang Hujjah penulis Ihya Ulumiddin, al-Baihaqi sang ahli dan perawi Hadits, as-Suyuthi sang pakar berbagai disipliln Ilmu Islam, al-Asqalani sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih al-Bukhari, al-Qurthubi sang pakar dan penulis kitab Tafsir, al-Qusthallani sang ahli Hadits penuli Syarah Shahih al-Bukhari dan sebagainya.
Kalau guru-guru kita itu dianggap sesat. Lalu siapa ulama yang bisa dibanggakan oleh umat Islam. Mereka yang dianggap sesat itu telah mengharumkan nama Islam dengan pemikiran dan karya-karya mereka. Coba kita tanyakan pada hati kita, seandainya kita harus memilih, siapa yang sebaiknya tidak pernah hidup di dunia ini, apakah asy-Syafi’i dan sebagainya atau ulama abad ini yang menganggap asy-Syafi’i sesat? Apa yang kita miliki kalau kita mencoret nama-nama mereka dan membuang karya-karya mereka dari rak buku kita.
Apa yang tersisa dari khazanah keilmuan Islam kalau kita membuang kitab-kitab asy-Syafi’i, Syarah Shahih Muslim (an-Nawawi) kitab Ihya’ Ulumiddin, Fathul Bari, Irsyadussari, Syarah Muwattha’ (az-Zarqani), Syarhul-Misykah dan sebagainya. Kalau mereka dianggap sesat dan karya-karya mereka dicekal, maka yang tersisa dari kekayaan umat Islam adalah ulama pencaci maki dan buku-buku yang dipenuhi dengan mengupat ulama salaf.”