Pembahasan sebelumnya terkait landasan hukum fiqih adalah tentang mengada-ada perbuatan ibadah yang dijelaskan dalam Bid'ah dalam pandangan para ulama salaf. Naah kali ini merupakan lanjutan uraian mengenai bid'ah yaitu pembagian bid'ah menurut ulama. Langsung saja inilah bahasannya :
Paling tidak menurut para ulama Bid'ah tersebut dapat dipisah dengan terbagi pada 5 bagian
1. Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam.
Bahkan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam membagi bid’ah menjadi lima bagian. Dalam pandangan beliau bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian; bid’ah wajibah, bid’ah mandubah (sunnat), bid’ah mubahah, bid’ah makruhah dan bid’ah muharramah (haram). Dalam hal ini beliau mengatakan:
اْلبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ الله وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوْبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوْهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ، وَالطَّرِيْقُ فِيْ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ اْلإِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمَنْدُوْبِ فَهِيَ مَنْدُوْبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاِعِد الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ. وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ:
أَحَدُهَا: اْلاِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يُفْهَمُ بِهِ كَلاَمُ اللهِ وَكَلاَمُ رَسُوْلِهِ وَذَلِكَ وَاجِبٌ لأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ وَلاَ يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَمَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.
الْمِثالُ الثاَّنِيْ: الْكَلاَمُ فِيْ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْل لِتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمُحَرَّمَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا مَذْهَبُ الْقَدَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْجَبَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُرْجِئَةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُجَسِّمَةِ. وَالرَّدُّ عَلىَ هَؤُلاَءِ مِنْ البِدَعِ الوَاجِبَةِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمَنْدُوْبَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا: إِحْدَاثُ الْمَدَارِسِ وَبِنَاءُ الْقَنَاطِرِ، وَمِنْهَا كُلُّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ اْلأَوَّلِ، وَمِنْهَا صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ..
وَلِلْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ، وَمِنْهَا تَزْوِيْقُ الْمَصَاحِفِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيْذِ مِنَ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَالْمَلاَبِسِ وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسِ الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعِ اْلأَكْمَامَ.."أ.هـ
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah . Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah. Dan jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bid’ah pada kaedah-kaedah syariat. Apabila bid’ah itu masuk pada kaedah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk pada kaedah haram, maka bid’ah muharramah. Apabila masuk pada kaedah sunat, maka bid’ah mandubah. Dan apabila masuk pada kaedah mubah, maka bid’ah mubahah.
Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah . Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.
Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran orang-orang Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bid’ah-bid’ah tersebut termasuk hukumnya wajib
Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan sekolah-sekolah dan setiap kebaikan yang pernah dikenal pada abad pertama, dan di antaranya shalat tarawih.
Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf Al-Quran.
Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran dan lain-lain.” (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/133)
Pandangan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam ini yang membagi bid’ah menjadi lima bagian dianggap sebagai pandangan yang final dan diikuti oleh mayoritas ulama terkemuka dari kalangan fuqaha dan ahli hadits.
2. Ibn Hajar Al-‘Asqalani.
Al-Imam Ibn Hajar Al-‘Asqalani, hafizh dan faqih bermadzhab Syafi’i. Beliau membagi bid’ah menjadi dua, bahkan menjadi lima bagian. Dalam kitabnya Fath Al-Bari, beliau mengatakan:
وَالْبِدْعَةُ أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْعِ فِيْ مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ وَإِلاَّ فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ.
“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.” Fath Al-Bari, 4/253).
3. Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi berkata: Bid‘ah -menurut syari‘at- adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.”
Beliau melanjutkan: “Para pemuka umat dan Imam kaum muslimin yang ilmunya sudah diakui, seperti Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdissalam menyebut di akhir buku beliau, al-Qawa`id (al-Kubra): “Bid‘ah itu terbagi pada perkara-perkara wajib (wajibat), haram (muharramat), sunnah (mandubat), makruh (makruhat) dan boleh (mubahat). Seharusnya, cara menilai suatu Bid‘ah itu dengan melihat kaidah syari’at (qawa‘id syari‘ah). Jika ia masuk dalam kategori kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram, jika ia termasuk hal yang mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia disukai, apabila ia termasuk hal yang buruk maka jadilah ia makruh dan seterusnya. Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.” [An-Nawawi, “Tahdzib al-Asma’ wal-Lughat”, III : 20-22.]
4. Al-Imam Al-Shan’ani.
Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Shan’ani, muhaddits dan faqih bermadzhab Zaidi, juga membagi bid’ah menjadi lima. Dalam kitabnya Subul Al-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, beliau mengatakan:
الْبِدْعَةُ لُغَةً: مَا عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ، وَالْمُرَادُ بِهَا هُنَا: مَا عُمِلَ مِنْ دُوْنِ أَنْ يَسْبِقَ لَهُ شَرْعِيَّةٌ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ وَقَدْ قَسَّمَ الْعُلَمَاءُ الْبِدْعَةَ عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ: وَاجِبَةٍ كَحِفْظِ الْعُلُوْمِ بِالتَّدْوِيْنِ وَالرَّدِّ عَلىَ الْمَلاَحِدَةِ بِإِقَامَةِ اْلأَدِلَّةِ، وَمَنْدُوْبَةٍ كَبِنَاءِ الْمَدَارِسِ، وَمُبَاحَةٍ كَالتَّوْسِعَةِ فِيْ أَلْوَانِ الطَّعَامِ وَفَاخِرِ الثِّيَابِ، وَمُحَرَّمَةٍ وَمَكْرُوْهَةٍ وَهُمَا ظَاهِرَانِ؛ فَقَوْلُهُ: «كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ» عَامٌّ مَخْصُوْصٌ
“Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan Sunnah. Dan ulama telah membagi bid’ah menjadi lima bagian: 1) bid’ah wajib seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil, 2) bid’ah mandubah seperti membangun madrasah-madrasah, 3) bid’ah mubahah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah, 4) bid’ah muharramah dan 5) bid’ah makruhah, dan keduanya sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya.” (Subul Al-Salam, 2/48).
KESIMPULAN: Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap kurun waktu mulai dari Al-Imam Al-Syafi’i, Ibn Abdilbarr, Ibn Al-‘Arabi, Ibn Al-Atsir, Izzuddin bin Abdissalam, Al-Nawawi, Al-Hafizh Ibn Hajar, Al-‘Aini, Al-Shan’ani, dan masih banyak ulama-ulama lain yang tidak dikutip di sini, membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah. Dan bahkan lebih rinci lagi, bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum-hukum yang berlaku dalam agama dan seluruh macam-macam bid'ah tersebut menurut mereka tidak dianggap terlarang semuanya. Wallohu 'alam
Paling tidak menurut para ulama Bid'ah tersebut dapat dipisah dengan terbagi pada 5 bagian
1. Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam.
Bahkan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam membagi bid’ah menjadi lima bagian. Dalam pandangan beliau bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian; bid’ah wajibah, bid’ah mandubah (sunnat), bid’ah mubahah, bid’ah makruhah dan bid’ah muharramah (haram). Dalam hal ini beliau mengatakan:
اْلبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ الله وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوْبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوْهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ، وَالطَّرِيْقُ فِيْ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ اْلإِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمَنْدُوْبِ فَهِيَ مَنْدُوْبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاِعِد الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ. وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ:
أَحَدُهَا: اْلاِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يُفْهَمُ بِهِ كَلاَمُ اللهِ وَكَلاَمُ رَسُوْلِهِ وَذَلِكَ وَاجِبٌ لأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ وَلاَ يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَمَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.
الْمِثالُ الثاَّنِيْ: الْكَلاَمُ فِيْ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْل لِتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمُحَرَّمَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا مَذْهَبُ الْقَدَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْجَبَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُرْجِئَةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُجَسِّمَةِ. وَالرَّدُّ عَلىَ هَؤُلاَءِ مِنْ البِدَعِ الوَاجِبَةِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمَنْدُوْبَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا: إِحْدَاثُ الْمَدَارِسِ وَبِنَاءُ الْقَنَاطِرِ، وَمِنْهَا كُلُّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ اْلأَوَّلِ، وَمِنْهَا صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ..
وَلِلْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ، وَمِنْهَا تَزْوِيْقُ الْمَصَاحِفِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيْذِ مِنَ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَالْمَلاَبِسِ وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسِ الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعِ اْلأَكْمَامَ.."أ.هـ
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah . Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah. Dan jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bid’ah pada kaedah-kaedah syariat. Apabila bid’ah itu masuk pada kaedah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk pada kaedah haram, maka bid’ah muharramah. Apabila masuk pada kaedah sunat, maka bid’ah mandubah. Dan apabila masuk pada kaedah mubah, maka bid’ah mubahah.
Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah . Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.
Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran orang-orang Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bid’ah-bid’ah tersebut termasuk hukumnya wajib
Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan sekolah-sekolah dan setiap kebaikan yang pernah dikenal pada abad pertama, dan di antaranya shalat tarawih.
Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf Al-Quran.
Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran dan lain-lain.” (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/133)
Pandangan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam ini yang membagi bid’ah menjadi lima bagian dianggap sebagai pandangan yang final dan diikuti oleh mayoritas ulama terkemuka dari kalangan fuqaha dan ahli hadits.
2. Ibn Hajar Al-‘Asqalani.
Al-Imam Ibn Hajar Al-‘Asqalani, hafizh dan faqih bermadzhab Syafi’i. Beliau membagi bid’ah menjadi dua, bahkan menjadi lima bagian. Dalam kitabnya Fath Al-Bari, beliau mengatakan:
وَالْبِدْعَةُ أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْعِ فِيْ مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ وَإِلاَّ فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ.
“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.” Fath Al-Bari, 4/253).
3. Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi berkata: Bid‘ah -menurut syari‘at- adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.”
Beliau melanjutkan: “Para pemuka umat dan Imam kaum muslimin yang ilmunya sudah diakui, seperti Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdissalam menyebut di akhir buku beliau, al-Qawa`id (al-Kubra): “Bid‘ah itu terbagi pada perkara-perkara wajib (wajibat), haram (muharramat), sunnah (mandubat), makruh (makruhat) dan boleh (mubahat). Seharusnya, cara menilai suatu Bid‘ah itu dengan melihat kaidah syari’at (qawa‘id syari‘ah). Jika ia masuk dalam kategori kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram, jika ia termasuk hal yang mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia disukai, apabila ia termasuk hal yang buruk maka jadilah ia makruh dan seterusnya. Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.” [An-Nawawi, “Tahdzib al-Asma’ wal-Lughat”, III : 20-22.]
4. Al-Imam Al-Shan’ani.
Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Shan’ani, muhaddits dan faqih bermadzhab Zaidi, juga membagi bid’ah menjadi lima. Dalam kitabnya Subul Al-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, beliau mengatakan:
الْبِدْعَةُ لُغَةً: مَا عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ، وَالْمُرَادُ بِهَا هُنَا: مَا عُمِلَ مِنْ دُوْنِ أَنْ يَسْبِقَ لَهُ شَرْعِيَّةٌ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ وَقَدْ قَسَّمَ الْعُلَمَاءُ الْبِدْعَةَ عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ: وَاجِبَةٍ كَحِفْظِ الْعُلُوْمِ بِالتَّدْوِيْنِ وَالرَّدِّ عَلىَ الْمَلاَحِدَةِ بِإِقَامَةِ اْلأَدِلَّةِ، وَمَنْدُوْبَةٍ كَبِنَاءِ الْمَدَارِسِ، وَمُبَاحَةٍ كَالتَّوْسِعَةِ فِيْ أَلْوَانِ الطَّعَامِ وَفَاخِرِ الثِّيَابِ، وَمُحَرَّمَةٍ وَمَكْرُوْهَةٍ وَهُمَا ظَاهِرَانِ؛ فَقَوْلُهُ: «كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ» عَامٌّ مَخْصُوْصٌ
“Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan Sunnah. Dan ulama telah membagi bid’ah menjadi lima bagian: 1) bid’ah wajib seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil, 2) bid’ah mandubah seperti membangun madrasah-madrasah, 3) bid’ah mubahah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah, 4) bid’ah muharramah dan 5) bid’ah makruhah, dan keduanya sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya.” (Subul Al-Salam, 2/48).
KESIMPULAN: Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap kurun waktu mulai dari Al-Imam Al-Syafi’i, Ibn Abdilbarr, Ibn Al-‘Arabi, Ibn Al-Atsir, Izzuddin bin Abdissalam, Al-Nawawi, Al-Hafizh Ibn Hajar, Al-‘Aini, Al-Shan’ani, dan masih banyak ulama-ulama lain yang tidak dikutip di sini, membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah. Dan bahkan lebih rinci lagi, bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum-hukum yang berlaku dalam agama dan seluruh macam-macam bid'ah tersebut menurut mereka tidak dianggap terlarang semuanya. Wallohu 'alam