Oleh : Shiddiq Amien
Dalam Dialog Jum’at Rapublika
yang terbit tgl. 15 Juni 2003 ada sebuah “ gugatan”, ketika banyak do’a,
dzikir dan istighatsah digelar, baik yang dilakukan sendiri-sendiri, atau
dilakukan berjamaah, bahkan sampai do’a bersama antar pemuka dari agama yang
berbeda, tapi mengapa persoalan bangsa ini sepertinya tak kunjung reda, bahkan
dalam banyak hal terasa semakin memprihatinkan. Ada apa gerangan dengan do’a
kita ? Bukankah berdo’a itu perintah Allah ? dan Allah telah menjanjikan untuk
mengabulkan do’a itu , seperti dinyatakan dalam QS. Ghafir : 60.? Sebuah
pertanyaan yang bersifat inkari atau
retoris.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, Nabi saw menyatakan bahwa ikhtiar, usaha dan
kehati-hatian manusia tidaklah ada manfaatnya ketika takdir Allah tiba. Karena
takdir Allah ada di atas ikhtiar dan usaha manusia. Tapi sesungguhnya do’a
sangat berfanmaat bagi apa-apa yang sudah menimpa, yang sudah terjadi dan
apa-apa yang belum terjadi. Ketika seseorang ditimpa sakit, usaha rugi, hidup
susah, atau ketika negara ditimpa bencana, diterpa krisis, atau ketika
seseorang ingin sukses dalam usaha dan belajar, ingin terhindar dari
marabahaya, ingin hidup bahagia dan sejahtera, maka semua bisa diminta kepada Allah
melalui do’a.
Namun ketika dzikir sudah digelar, do’a sudah diungkap, tapi mengapa
keinginan belum juga terkabul, mengapa bencana dan malapetaka belum juga sirna
?
Kiranya banyak variable yang bisa jadi penyebab belum dikabulkannya
do’a. Kalau kita memperhatikan beberapa
keterangan dari Al-Qur’an dan hadits Nabi , banyak syarat atau ketentuan yang
harus dipenuhi, jika do’a kita ingin dikabulkan Allah. diantaranya : Pertama,
Ikhlas, sebuah kata yang mudah diucapkan tapi tidak semua orang bisa
mempraktekannya, begitu banyak gangguan untuk bisa ikhlas ini. Kedua, Yakin
bahwa do’a kita suatu saat akan diijabah. At-Tirmidzi meriwayatkan anjuran Nabi
saw bahwa Allah tidak akan mengabulkan do’a dari hati yang tidak yakin, apalagi
berburuk sangka kepada Allah. Dalam riwayat Al-Bukhari Nabi menyatakan bahwa
Allah itu tergantung sangkaan hambaNya, jika si hamba menyangka Allah akan
mengabulkan do’anya, Allah akan mengabulkannya, tapi jika si hamba sudah
menyangka bahwa do’anya tidak akan dikabulkan, maka Allah tidak akan
mengabulkannya. ( Ana ‘inda dlonni
‘abdi) Ketiga, Tidak terburu-buru, orang berkata aku sudah berdo’a, tapi
tidak dikabulkan juga. ( HR. Malik ). Keempat,
Do’a dilakukan dengan merendah hati, dengan suara lembut, dengan keiinginan
yang kuat untuk dipenuhi, dan dengan rasa takut tidak dikabulkan. Seperti
ditegaskan Allah dalam QS. Al-A’raf : 55-56.
Abu Musa Al-Asy’ari meriwayatkan bahwa ketika para sahabat Nabi pergi ke
medan perang, mereka mengeraskan bancaan do’anya. Mereka ditegur Nabi saw. dengan
ungkapan : Wahai manusia sayangilah dirimu, sesungguhnya kalian ini berdo’a
bukan kepada yang tuli dan bisu, melainkan kalian berdo’a kepada Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan bahwa ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi
tentang posisi Allah terhadap hambaNya, apakah dekat atau jauh, jika dekat ia
akan berbisik, tapi jika Allah itu jauh, maka ia akan berteriak. Jawaban atas
pertanyaan tersebut datang langsung dari Allah yang termuat dalam QS.
Al-Baqarah : 176 yang menegaskan bahwa Allah itu dekat. Maka logikanya sesuai
dengan pertanyaan, do’a itu dilakukan dengan suara lembut, dan bukan dengan
suara keras-keras. Kelima, Jika kita memperhatikan bunyi QS. Al-Baqarah
: 176 ada sebuah tuntutan jika do’a ingin dikabul mesti didasari iman dan juga
memenuhi perintah Allah dengan beramal sholeh dan meninggalkan larangan-Nya.
Tapi tentu saja bukan nganyar-nganyari, misalnya baru rajin tahajud atau
shaum karena ada keinginan, atau ketika hidup susah, usaha rugi, baru shalat dan
berdo’a.
Ketika Rasulullah saw. membacakan ayat tentang perintah makan yang
halal dan thayyib ( QS. Al-Baqarah : 168 ) Sa’ad bin Abi Waqash berdiri dan
memohon kepada Nabi agar dido’akan menjadi manusia yang dikabulkan do’a.
Nabi saw malah menganjurkan agar
Sa’ad apik dalam makan dan minum, tidak memakan dan meminum yang haram atau
dari hasil usaha yang haram. Bagaimana mungkin Allah akan mengabulkan do’a jika
perut si hamba dipenuhi dengan yang haram. Selain itu Ibnu Abbas ra menyatakan
bahwa dirinya tahu benar diantara penunjang dikabulkannya do’a oleh Allah
adalah berbuat baik kepada kedua orang tua.
Selain ketentuan atau syarat di atas, ada saat-saat besar harapan do’a
seseorang dikabulkan Allah, misalnya : do’a di Arafah ketika wukuf, do’a di jamarat
ketika selesai melontar jamarat, do’a dalam sujud, doa dalam tahajud, doa di
hari Jum’at, do’a dalam shalat antara adzan dan qamat, do’a sedang shaum,
do’a di akhir tasyahud akhir, dsb.
Ada hadits riwayat At-Thabrani yang menyatakan bahwa jika sekelompok
orang berdo’a dan mengamini seluruhnya, pasti Allah akan mengabulkannya . Tapi
hadits ini dinyatakan dla’if, karena ada rawi bernama Abdullah bin Lahi’ah. (
Majma’u Zawaid 10 : 170 ; Mizanul I’tidal : No.4530 ) Ada juga riwayat
At-Thabrani : 6142 dari Salman yang menyatakan Hak Allah untuk memenuhi do’a
orang yang mengangkat tangannya. Tapi dalam sanadnya ada rawi bernama Syadad
Abu Tholhah, dla’if ( Mizanul I’tidal
Np. 2673 ); Dalam At-Thabrani No. 6130
dari sahabat Salman juga dinyatakan Allah malu tehadap hambanya jika mengangkat
tangan dalam do’a lantas tidak mengabulkannya. Tapi dalam sanadnya ada Jamil
bin Hasan, oleh Imam Abdan dinilai pendusta dan fasiq. ( Mizanul I’tidal : N0. 1555 ). Yang jelas tidak
semua do’a dilakukan dengan mengangkat tangan, seperti mengucap salam dan
menjawab salam juga do’a, tapi tidak ada keterangan bahwa salam dilakukan
dengan mengangkat tangan. Mengangkat tangan dilakukan hanya pada do’a yang
memang dicontohkan oleh Nabi saw. seperti doa di Arafah ketika sedang wukuf,
doa di Jumratul Ula dan Wustha ba’da melontarnya, do’a dalam istisqa, do’a istinshar yakni minta tolong di medan perang,
dsb.
Dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa dari tujuh
golongan manusia yang akan mendapat perlindungan pada hari kiamat diantaranya
orang yang berdzikir atau berdo’a kepada Allah menyepi, menyendiri
( sehingga terhindar dari riya) dan air matanya berlinang ( karena takut
kepada Allah ). Imam At-Thabrani juga meriwayatkan jaminan Nabi saw. yang
menyatakan bahwa ada tiga mata yang akan membawa selamat kelak, yakni mata yang
menangis karena takut kepada Allah, mata yang bersemangat bila dibawa di jalan
Allah, dan mata yang marah ketika apa yang diharamkan Allah dilanggar ( Jami’us
Shaghir : No. 3518 ) . Menangis dan tertawa adalah Infi’al , Seseorang
tertawa karena ada sesuatu yang lucu. Apa namanya jika ada orang tiba-tiba
tertawa ? demikian juga menangis, khususnya dalam do’a. Menjadi sangat bermakna
jika itu terjadi karena ingat akan dosa dan takut kepada Allah. Menangis dan
tertawa memang bisa direkayasa, seperti yang sering terjadi dalam panggung
sandiwara atau drama. Kita tidak tahu apakah ketika seseorang begitu khusyu’
dan menangis dalam dzikir dan do’a di depan publik dan kamera, tapi tidak bisa
melakukannya ketika itu dilakukan sendiri dan menyepi seperti isyarat hadits
tadi, itu tangis rekayasa dan sandiwara ? wallahu a’lam.