NUKLIR IRAN & KEBOHONGAN AS

Oleh : Shiddiq Amien
Pasca dijatuhkannya bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki  oleh tentara AS tahun 1945 dengan korban ratusan ribu meregang nyawa, muncul kesadaran kolektif dan niatan bersama untuk menciptakan satu dunia yang aman dan damai dari ancaman nuklir.  Melalui  The Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons atau yang lebih dikenal dengan Non-Proliferation Treaty  (NPT)  yang diratifikasi pada tahun 1970,  telah 187 negara ikut menandatangani   traktat yang mengatur persoalan nuklir tersebut.


Melalui NPT tersebut masyarakat internasional dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni mereka yang telah melakukan uji coba nuklir, dan yang belum melakukannya, sebelum tahun 1968. Kelompok pertama disebut sebagai negara-negara pemilik nuklir, yaitu : Amerika Serikat, Rusia, Cina, Inggris dan Prancis. Kelompok kedua disebut negara-negara non-nuklir  ( Non-Nuclear Weapons States ).  NPT mengatur bahwa negara-negara pemilik nuklir untuk sementara diperbolehkan mempertahankan senjata nuklir yang mereka miliki, tapi diminta untuk melakukan perlucutan senjata nuklir sendiri. Sementara negara-negara non-nuklir dilarang mengembangkan atau menerima senjata nuklir dari kelompok negara nuklir. Badan Tenaga Atom Internasional  (IAEA) secara ketat  dan kontinyu mengawasinya. Sebagai imbalannya mereka mendapat komitmen dari negara-negara nuklir untuk melakukan perlucutan senjata nuklir mereka sendiri.

Persoalan  kemudian muncul ketika negara-negara non-nuklir seperti Iran secara terus  menerus dipantau  soal program nuklir mereka, mereka  diizinkan memanfaatkan nuklir hanya untuk tujuan damai, untuk keperluan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan energi seperti listrik ( Reactor Grade ),  dan tidak untuk pengembangan senjata     ( Weapon Grade ). Hal yang sama tidak dilakukan terhadap negara-negara nuklir. Mereka hanya diwajibkan melakukan perundingan sesama mereka saja, tanpa ada keharusan memberangus senjata nuklir tersebut, serta tidak ada sikap jujur dan transparan dalam melakukan perlucutan senjata nuklir mereka. Persoalan  menjadi semakin rumit ketika beberapa negara  tidak bersedia menandatangani NPT seperti negara Zionis Israel, yang menurut pengakuan mantan pekerja di Pusat Penyelidikan Nuklir Israel Mordechai Vanunu, bahwa Israel telah memiliki sekitar 100-200 hulu ledak nuklir. Demikian juga Pakistan dan India yang karena permusuhan di antara keduanya telah melakukan uji coba nuklir pada tahun 1998. Ketiga negara tersebut tidak pernah mendapat tekanan apalagi paksaan dari IAEA atau Dewan Keamanan PBB, khususnya AS untuk memaksa mereka ikut menandatangani NPT tsb.

Persoalan lainnya muncul, ketika kebutuhan masyarakat dunia akan energi semakin besar, sementara cadangan energi  ( seperti minyak bumi,gas, dan batu bara ) semakin menipis , banyak negara menjadikan teknologi nuklir sebagai energi alternatif. Iran termasuk negara yang telah melakukan langkah antisipatif dengan membangun reaktor nuklir di Bushehr. Untuk meyakinkan masyarakat internasional  bahwa negaranya sama sekali tidak berniat mengembangkan senjata nuklir, Iran-pun disamping ikut menandatangani dan meratifikasi Konvensi Senjata Kimia (CWC)  dan Konvensi Senjata Biologi (BWC), juga telah bersedia menandatangani protokol tambahan NPT yang memberi akses terbuka bagi IAEA untuk secara mendadak melakukan verifikasi terhadap program nuklirnya. Wajar jika kemudian banyak negara yang secara diam-diam mendukung sikap Iran, karena mereka juga sangat berkepentingan untuk mengembangkan teknologi nuklir bagi tujuan damai.

Walhasil, pada dasarnya tidak ada alasan bagi AS dan sekutunya, IAEA, maupun Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan program nuklir Iran. Tapi mungkin karena NPT sudah disiapkan hanya untuk melindungi kepentingan ambisi dan hegemoni negara-negara nuklir, serta kepentingan perlindungan terhadap negara “si anak emas “ Zionis. AS begitu bernafsu memaksa   Dewan Gubernur IAEA dalam sidangnya tanggal 13 September 2004 untuk membuat keputusan membawa masalah nuklir Iran ke Dewan Keamanan PBB. Alasan pemaksaan tersebut tentu saja kuatnya kecurigaan dan ketidak percayaan AS dan sekutunya terhadap niat baik Iran. Dengan kata lain mereka menuduh   rezim di Iran berbohong.
Bagi sebuah rezim “Pembohong Besar”  AS, tentu saja kecurigaan tersebut menjadikan dirinya begitu paranoid. Bagaimana tidak ? Setelah melancungi masyarakat dunia dengan tuduhan Irak memiliki senjata pemusnah massal, sebagai pembungkus sikap imperialis dan hegemoniknya. Kebohongan soal peristiwa 11 September 2001 sebagai rekayasa dan akal bulus penguasa AS sendiri dengan Al-Qaidah-nya Usamah bin Laden sebagai kambing hitam, seperti diungkap Thierry Meyssan dalam bukunya 9/11 The Big Lie (2003) dan Jerry De Gray dalam bukunya The Real Truth The Hard Evidence Exposed (2004) ,  kini  kebohongan lainnya  terkuak. Sebelum pertemuan WTO di Cacun, Mexico 2003 lalu, AS menyatakan tidak akan lama bercokol di Irak. Tapi ternyata  seperti diungkap Kevin Zeese yang pernah menjadi juru bicara kandidat Presiden, Ralph Nader, pada pemilu AS 2004, dalam situs anti perang Irak, www.antiwar.com,  AS alih-alih mengepak barang dan persenjataan mereka, malah di jantung kota Baghdad  mereka justru sedang membangun sebuah imperium raksasa yang terintegrasi.  Seperti dilansir Harian Republika  27/4-2006. Imperium tersebut  merupakan sebuah kompleks penuh bangunan seluas 100 aker ( lebih kurang 46 hektar ), 10 kali luas kedubes AS di berbagai negara pada umumnya, atau sama dengan 80 kali luas lapangan sepak bola, atau tujuh kali luasnya markas besar PBB di New York, atau sama dengan luasnya kota Vatikan di Roma, tulis Zeese.   Imperium tersebut seolah meneguhkan kesan dominasi AS terhadap Timur Tengah dan segala kekayaan alamnya.

Zeese mengurai detail kompleks tersebut. Menurut dia bangunan yang menjulang itu menghadap ke sungai Tigris. Berdiri ponggah layaknya sebuah benteng modern yang tertutup rapat. Kompleks itu benar-benar mandiri, dengan kemampuan mencukupi sendiri tenaga listrik dan air yang dibutuhkan.  Bangunan ini seolah menegaskan pernyataan Presiden Bush yang segera berputar haluan setelah pertemuan Cacun dengan menyatakan negaranya akan tetap berada di Irak sampai masa jabatannya habis.  AS juga membangun basis-basis militer permanen di Irak. Meski dengan menggunakan kedok eupimisme, dengan memberinya nama : “ Basi-basis Jangka Panjang “ atau “ Basis Operasi Darurat “. Istilah permanen nampak dihindari seiring semakin menguatnya sikap anti AS di Irak.

Kepala Deputi Operasi Pasukan Koalisi, Brigadir Jenderal Mark Kimmit, pada Maret 2004 kepada Chicago Tribune berkata lugas : “ Ini merupakan cetak biru bagaimana kita beroperasi di Timur Tengah “ . Pernyataan tersebut membuktikan kebenaran pernyataan Zoltan Grossman seorang ahli geografi di Evergreen State College di Olympia, Washington, kepada  majalah Christian Science Monitor sebelumnya. Grossman mengatakan bahwa sejak runtuhnya tembok Berlin pada 1989, AS sebenarnya sudah membangun 35 basis militer baru yang membentang dari Polandia sampai Pakistan dan Pilipina.  Majalah tersebut juga mengutip pernyataan Joseph Gerson, penulis The Sun Never Sets : Confronting the Network of Foreign US Military Bases.  Gerson menyebutkan bahwa basis-basis militer itu sengaja dibuat AS untuk membangun kontrol terhadap negara-negara di kawasan Timur Tengah, kawasan negara-negara kaya minyak dan gas bumi.  Kongres AS pada Mei 2005 telah menyetujui kucuran dana 82 miliar dollar, sebagai dana awal untuk mewujudkan mimpi dan ambisi AS di Timur Tengah. Mimpi dan ambisi membangun kembali Babilonia, negri yang dulu pernah mengangkangi kawasan tersebut.

Semua itu dibangun para petinggi AS di atas kebohongan  kepada masyarakat dunia, termasuk kepada bangsa AS sendiri. Di hadapan Kongres AS Mentri Luar Negri AS waktu Itu- Donald Rumsfeld- dengan air muka seorang politisi berkata : “ Saya bisa meyakinkan anda, bahwa kami tidak punya niatan membangun basis-bais permanen di Irak. “ Padahal menurut  Global Security. Org, sebuah organisasi penyeru perdamaian, pada pertengahan 2005 telah merilis bahwa AS pada saat itu sudah membangun 14 basis militer permanen di Irak. Di antaranya : Camp Anaconda, Camp Falcon Al-Sharq di Baghdad, serta Camp Marez di Mosul. Kiranya wajar jika majalah Newsweek dalam laporan akhir tahun 2005 menganugrahi George W Bush dengan gelar sebagai “Pembohong Besar tahun 2005 “. Mungkinkah ada perdamaian dunia jika masih banyak dusta di antara mereka ? Wallahu a’lam.

Share :