ICG dan ISUE TERORISME


Oleh : Shiddiq Amien
ICG singkatan dari International Crisis Group ( Wikipedia.org ) adalah sebuah organisasi nonpemerintah, nirbala international yang misinya mencegah dan  menyelesaikan konflik berbahaya melalui analisis berdasar medan dan advokasi tingkat tinggi.
Ketika sebuah negara dalam resiko perpecahan, atau kekerasan skala besar, Crisis Group ini mengirim tim analisis poitik ke dalam atau ke dekat daerah konflik. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh tim ini, organisasi ini menciptakan laporan analisis dengan rekomendasi yang ditujukan kepada pemimpin-pemimpin  dan organisasi-organisasi dunia. Group ini juga menerbitkan newsletter bulanan, Crisis Watch, yang memberikan sekilas berita tentang kekerasan yang sedang terjadi di dunia.

ICG yang memiliki 19 kantor cabang di seluruh dunia. ICG berada di Indonesia sejak tahun 2000 . Jakarta dijadikan sebagai pusat ICG untuk Asia.  ICG Jakarta dikepalai oleh Sydney Jones ( Senior Advisor )  dengan Joe Virgoe sebagai South East Asia Project Director           ( Direktur Proyek Asia Tenggara ).  Sebelum bergabung dengan ICG, Jones  menjabat sebagai direktur eksekutif divisi  Asia Human Right Watch ( 1989-2002 ). Dia dikenal sebagai Indonesianis. Selama 20 tahun ia banyak mengamati dan menganalisis masalah Indonesia. Dia juga membantu kantor urusan HAM PBB yang menangani masa transisi Timor Timur.  Sepanjang 2002 sampai 2004 Jones bersama lembaganya telah banyak sekali menerbitkan laporan tentang Indonesia, khusus mengenai Jamaah Islamiyah, laporan ICG sama dengan pandangan-pandangan Pemerintah AS. Keduanya meyakini bahwa Jamaah Islamiyah tumbuh di Asia Tenggara. Dalam laporan 11 Desember 2002,  ICG membuat cerita 39 halaman tentang Jamaah Islamiyah. Laporan ini sepertinya menjadi pembuka jalan bagi munculnya Jamaah Islamiyah dalam wacana publik. Laporan inipun banyak dijadikan dasar untuk mengembangkan isue yang memosisikan Islam sebagai biang terorisme.

ICG mendapat donasi dari beberapa pemerintah negara Barat selain AS, seperti Belanda, Jerman, Swiss, Swedia dan Inggris. Pemerintah Cina dan Jepang juga terdaftar sebagai donornya.  ICG juga mendapat donasi dari lembaga-lembaga swasta seperti  Ford Foundation, Atlantic Philantropies, Bill & Melinda Gates Foundation, dan Lembaga Yahudi Sarlo Foundation of Jewish Community Endowment Fund. George Soros seorang pialang Saham keturunan Yahudi pernah dianugrahi ICG Founders Award tahun 2003 atas kontribusinya membantu ICG.  Dengan donasi yang cukup kuat itu,  ICG telah membuka kantor-kantor advokasi tersebar di Washington DC, New York, Moskow, dan Paris serta kantor urusan media di London. Sedangkan kantor pusatnya berada di Brussels. ICG juga mempekerjakan para analis dari lebih 30 negara. Organisasi tersebut sejak tahun 2000 diketuai oleh mantan presiden Finlandia Martti Ahtisaari, sedang direktur eksekutifnya dijabat oleh mantan menteri luar negeri Australia, Gareth Evans. Tokoh Indonesia yang namanya terdaftar sebagai board member ICG adalah Todung Mulya Lubis.

Banyak laporan yang diluncurkan ICG, pernah membuat aparat intelijen nasional gerah.  Sydney Jones pernah dua kali diminta angkat kaki dari Indonesia. Pertama  pada Juni 2004. Laporan-laporan yang dia buat tentang konflik di beberapa wilayah Indonesia dinilai bias dan tidak obkjektif.   Dia bersama beberapa  LSM  Indonesia telah merugikan bangsa Indonesia dengan menjual informasi untuk mendapatkan uang. Itu dinyatakan Kepala BIN , AM Henropriyono (28 Mei 2004). Dalam rapat kerja antara Komisi 1 DPR dengan Badan Intelijen Negara (BIN) Selasa 25 Mei 2004 dibeberkan bahwa laporan-laporan ICG tentang Indonesia selama ini dianggap berbahaya dan bisa memecah-belah. Hendro menilai bahwa keberadaan Jones di Indonesia sudah tidak disukai lagi oleh masyarakat.  Dia kemudian bisa kembali dan tinggal di Jakarta sejak 22 Juli 2005. Namun setelah dilakukan evaluasi oleh Menkopolhukam dengan melibatkan unsur Polri,intelijen, dan yang lainnya Jones dianggap membahayakan Indonesia dia kembali diusir pada 24 Nopember 2005. Pengusiran Jones yang kedua ini mengundang reaksi dari banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negri,  mereka menuduh hal tersebut sebagai sebuah kemunduran bagi demokrasi dan HAM di Indonesia.  Akhirnya Presiden SBY memerintahkan agar larangan kegiatan selama setahun bagi Jones di Indonesia itu dicabut lagi (29 Nopember 2005).

Inilah beberapa tudingan bias ICG,  seperti ditulis Lajnah Siyasah HTI ( swaramuslim.com) : Pada 12 Desember 2002 ICG mengeluarkan laporan tentang terorisme di Indonesia bertajuk : Backgrounder : How The Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates (  Cara Kerja Jamaah Islamiyah ). Dalam laporan tersebut ICG menyatakan bahwa dari 14 ribu pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, ada 8900 pesantren yang berbahaya. Suatu tuduhan ngawur yang sangat berbahaya. Penelitian ICG yang didanai AS itu juga menyimpulkan bahwa kitab-kitab kuning yang diajarkan di Pesantren merupakan biang dari kekerasan.  Dan tidak lama setelah itu pemerintah AS mengusulkan agar pemerintah Indonesia segera merubah kurikulum pendidikan agama, khusunya di pesantren.

Pada Agustus 2003 ICG menurunkan laporan bertajuk : Jemaah Islamiyah in South East Asia : Damaged but Still Dangerous  ( Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara : Hancur tetapi Masih Berbahaya ) , ICG lagi-lagi menuduh ada beberapa jaringan pesantren yang bisa dikatagorikan teroris dan Jamaah Islamiyah. Anehnya, setelah keluarnya laporan ICG itu beberapa nama sesuai daftar laporannya langsung dicokok polisi. Hal ini memperkuat dugaan bahwa laporan ICG itu bukan sekedar laporan penelitian, tapi ada ‘ the invisible hand’  yang menggerakannya. Banyak kalangan menuduh bahwa ICG ini adalah kepanjangan tangan dari CIA untuk mempengaruhi dan menekan pemerintah RI. Caranya dengan membuat ‘penelitian’ dan laporan sehingga terkesan ilmiah.

Pada 16 Juni 2008 ICG menurunkan laporan dengan tajuk : Indonesia : Communal Tension in Papua.  Dalam laporan itu ditulis bahwa konflik antara Muslim dengan Kristen di Papua dapat meningkat bila tidak dikelola dengan baik. Kaum Kristen merasa diserang oleh migrasi kaum muslimin dari luar Papua dan mereka menilai pemerintah mendukung aktifitas Islam untuk mengeksvansi minoritas non-muslim. Kaum Muslimin pindahan itu memandang bahwa demokrasi dapat diarahkan menjadi tirani mayoritas, sehingga posisi mereka disana terancam. Dalam laporan tersebut nampak upaya untuk mengadu domba antara muslim dengan kristen serta memprovokasi pemerintah untuk menekan kelompok Islam.

Pada 7 Juli 2008 ICG mengeluarkan lagi laporan dengan tajuk : Indonesia : Implications of The Ahmadiyah Decree.  Dalam laporan itu  ICG menulis  bahwa keluarnya SKB yang membatasi aktifitas Ahmadiyah mendemonstrasikan bagaimana kelompok-kelompok Islam garis keras yang memiliki dukungan politik kecil, telah mampu menggunakan teknik-teknik advokasi klasik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam pernyataan itu Sydney Jones menyatakan :” Pemerintah SBY telah membuat kekeliruan serius dengan mengundang Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 umtuk membantu membuat kebijakan. Ini membuka pintu bagi kelompok-kelompok garis keras, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia  (HTI) dan Forum Umat Islam (FUI)  untuk menekan lebih besar intervensi negara dalam agama dan melegislasi moralitas.”  ICG selanjutnya menyatakan : “ Ada dukungan yang tidak masuk akal ( the unthinking support ) yang diberikan pemerintah SBY terhadap institusi-institusi seperti MUI dan Bakorpakem, lembaga pengawas kepercayaan dan keyakinan pada masa Soeharto.”  Untuk menekan pemeritah ICG menegaskan : “ The result was a decree which is a set back for both Indonesia’s image as a country that can stand up to Islamic radicalism and President Yudoyono’s image as a strong leader .”   ( Hasilnya : SKB adalah langkah mundur, baik terhadap citra Indonesia sebagai sebuah negara yang berhadapan dengan radikalisme Islam, maupun terhadap citra Presiden Yudoyono sebagai seorang pemimpin kuat ).

Dari apa yang diperbuat oleh ICG di Indonesia selama ini, yang begitu rajin mengangkat isue Jamaah Islamiyah, serta menyoroti gerakan kaum muslimin yang berusaha menjaga bangsa dan negara ini dari bahaya pornografi, pornoaksi, aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah, serta cengkraman kapitalisme, leberalisme dan sekulerisme, arahnya jelas untuk memberi stigma negatif, serta menyeret Indonesia dalam isue war on terrorism ala AS. Akhirnya terpulang kepada keberanian pemerintahan  SBY-JK untuk bersikap.

Share :