Berikut ini penuturan dan kesan KH. Shiddiq Amien (Allohu Yarham) terhadap seorang tokoh bernama Mohammad Natsir (Allohu Yarham) :
Ketika kecil, ayah
saya bercerita sekilas tentang seorang tokoh. Tokoh tersebut
bersama-sama dengan A. Hassan merupakan sosok-sosok yang amat lekat
dengan Persatuan Islam. Sedikit saja memang apa yang ayah saya
ceritakan—justru lebih banyak bercerita tentang A. Hassan—tentang tokoh
tersebut. Itulah kali pertama, sepanjang ingatan saya, perkenalan saya
bermula. Sempat ayah saya merasakan didikan tokoh tersebut, ketika nyantri
di Bandung. Tanpa sengaja, cerita ayah saya ketika itu tentang tokoh
tersebut, bersamaan dengan kedatangannya ke Tasikmalaya. Belasan tahun
kemudian, kelak saya pun bertemu langsung dengan tokoh tersebut. Bahkan
hingga kini saya lekat berkecimpung dalam organisasi yang pernah beliau
dirikan dan tumbuhkan. Ya, tokoh tersebut adalah Mohammad Natsir. Tokoh
kelahiran Alahan Panjang, Solok, Sumatra Barat, pada 17 Juli 1908.
Akhir dasawarsa 1980-an, saya bertatap wajah dan
bertegur sapa langsung dengan beliau. Tujuan kedatangan saya ke Jakarta,
tepatnya ke kantor Dewan Da’wah (Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, red.),
adalah mengajukan proposal bantuan pembangunan gedung. Memang hanya
sebentar. Urusan proposal langsung itu pun anak buahnya tangani. Akan
tetapim, proposal yang ditujukan untuk Rabithah (Rabithah ‘Alam Al Islami, red.)
ketika masih berkantor di Diponegoro, justru tak kunjung datang
jawaban. Hingga kunjungan kedua saya. Sayangnya, ketika beliau sedang
sakit. Sempat saya ceritakan tentang kelanjutan proposal tersebut, meski
bangunan sudah selesai. Singkat saja beliau menanggapi: “Ya alhamdulillah, dana belum turun, bangunan sudah jadi. ‘Kan yang mau masuk sorga, tidak hanya orang Arab!”
Pertemuan ketiga dan terakhir, sedihnya terjadi
ketika beliau telah wafat. Delapanpuluh lima tahun bukanlah sebentar
usia. Suasana berkabung ketika itu begitu padat, bahkan saya sulit
memasuki rumah duka. Inilah tokoh penyambung hati nurani umat. Tiga
pertemuan tersebut terjadi karena saya sering diajak Latif Muchtar,
Ketua Umum Persatuan Islam sebelum saya. Bukan kebetulan pula, karena
saya adalah sekretaris beliau.
Jujur saya utarakan bahwa saya bukanlah seorang
yang tepat bercerita tentang Mohammad Natsir. Latif Muchtar merupakan
tokoh yang lebih tepat, karena beliau adalah seseorang murid langsung
Pak Natsir, begitu Latif Muchtar—demikian pula orang-orang yang cukup
lama berinteraksi akrab—biasa memanggil Mohammad Natsir. Latif
Muchtar-lah dan generasi pertama binaan langsung yang Pak Natsir berikan
kemudahan kuliah di Arab. Sulit sekali saya menguraikan gambaran utuh
tentang keseharian Mohammad Natsir. Lebih-lebih, banyak hal rinci yang
saya lupa. Sebab-sebab lain kekurangdekatan saya dengan Mohammad Natsir,
selain karena usia, juga karena letak yang cukup jauh. Pak Natsir
tinggal di Jakarta, sedangkan saya lebih sering berada tinggal di
Tasikmalaya, lalu Bandung.
Bagi saya sulit sekali memisahkan antara Mohammad
Natsir—dan juga A. Hassan—dengan Persatuan Islam. Pendidikan Islam
(Pendis) merupakan garapan beliau yang cukup melengkapi kekurangan
pendidikan Islam. Dia juga memberikan format atas Persatuan Islam. Dari
organisasi yang horizontal menjadi organisasi yang mudah masyarakat luas
kenal. Mungkin sama seperti orang muda lain, saya lebih mengenal beliau
melalui tulisan yang beliau buat—kadang-kadang seraya menggunakan nama
samaran—baik di Majalah Risalah dan media massa lainnya maupun kumpulan
tulisan beliau semisal Capita Selecta dan tentu saja Fiqhud Da’wah. Bagi saya, atsar-atsar beliau pantas Persatuan Islam jadikan sebagai acuan.
Bagaimana tenang, teratur, dan kalemnya
ceramah-ceramah yang beliau kemukakan. Akan tetapi tetap tajam, tidak
hilang makna. Keberaniannya berpolemik dengan Soekarno tentang status
dan peran agama (Islam). Walaupun pada usia yang masih muda.
Narasi-narasi argumentasi yang dia kedepankan. Tidak hanya itu, beliau
pun sanggup menuliskannya dalam bahasa Belanda. Tanpa merasa canggung
ataupun rikuh, dia bicara, menulis, dan tentu saja berbuat. Sekali
sempat beliau menulis surat kepada Paus—pemimpin tertinggi umat
Katholik—tentang etika penyebaran agama. Tanpa hasutan, tanpa bujukan.
Toleransi tetap beliau junjung tinggi.
Bagi beliau—persis seperti ucapan John F.
Kennedy—janganlah memperhitungkan apa yang sudah kita berikan kepada
bangsa, apalagi memperhitungkan apa yang bangsa berikan kepada kita.
Sempat terpinggirkan. Akan tetapi beliau tetap memberikan perbuatan yang
terbaik. Tanpa pamrih! Tanpa usaha beliau membendung arus federalisme
sebagai konsekuensi logis dari Konferensi Meja Bundar, hingga berujung
pada Mosi Integral. Sontak Negara Indonesia Serikat gagasan van Mook pun
bubar. Begitu lekatnya beliau dengan Persatuan Islam, hingga seringkali
apa yang beliau lakukan merupakan kebijakan organisasi, padahal tidak
demikian. Akan tetapi tetap saja sebagian besar orang melihat itulah
yang Persatuan Islam perbuat.
Apa yang langka, hingga nyaris hilang dari umat
Islam, terutama pemimpinnya adalah keteladanan. Sebutan Natsir Muda
bukanlah jaminan. Istiqamah. Sebutan Natsir Muda pernah disematkan
kepada Nurcholis Madjid—entah siapa yang menyematkannya—ujungnya malah
tidak istiqamah. Awalnya memang cukup cemerlang. Belakangan
malah terkontaminasi ajaran liberal. Begitu banyak orang yang menempuh
pendidikan tinggi. Akan tetapi seberapa banyak orang yang teguh memegang
agama. Selaraskan dengan perbuatan.
Seperti sama-sama kita tahu, Mohammad Natsir pernah
menolak bantuan beasiswa pendidikan tinggi. Dia lebih memilih
berkecimpung pada organisasi pergerakan nasional semisal Jong Islamieten
Bond. Demikianlah, tanpa berani kita pungkiri, kapasitas keilmuan
Mohammad Natsir memang lebih. Sebagian besar tokoh-tokoh asal Sumatra
Barat, semisal Buya Hamka, memang tidak menempuh pendidikan tinggi. Akan
tetapi, kualitasnya berani diadu.
Kiprah Mohammad Natsir dalam dua wadah: Persatuan
Islam dan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, kiranya usah diperdebatkan
lagi perbedaan antarkeduanya. Oleh karena visi da’wah keduanya tetaplah
sama. Kalaupun bila ada perbedaan keduanya, hal tersebut semata bentuk
wadahnya. Persatuan Islam adalah organisasi sosial keagamaan, sedangkan
Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia adalah yayasan. Bahkan susunan
kepengurusan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia terdiri dari beberapa
wakil organisasi sosial keagamaan. Semacam presidium, kiranya demikian.
Seksama memperhatikan jasa-jasa beliau kepada
Indonesia, maka wajarlah gelar pahlawan nasional, Mohammad Natsir
dapatkan. Tanpa mempermasalahkan siapa dan dari etnis mana yang
mengusulkan. Meskipun jelas dia tak pernah merajuk. Apa yang jauh lebih
penting baginya adalah sifat kepahlawanan, bukan lagi gelar. Tidak
sedikit memang orang yang menyanggah bahkan melabrak pendapat Mohammad
Natsir. Mereka yang hendak mendirikan Negara Islam dengan cara radikal,
tentu menolak pandangan Mohammad Natsir. Akan tetapi, sejatinya bukankah
setiap orang ada plus-minusnya? Itu hal manusiawi.
Satu hal lagi. Kesederhanaan! Itulah yang menghilang dari para pemimpin sekarang. Wibawa hanya muncul melalui kesederhanaan.