Membahas Arti Bid'ah Ibadah Aqidah | Pengertian Serta Bahaya Bidah

Dari waktu ke waktu perbuatan Bi'dah ini bukan semakin kurang, malah semakin lumrah terjadi. Padahal persoalan ibadah ini tidak lagi dapat ditoleransi oleh pendapat siapun, legalisasinya wajib mengacu pada Al-Qur'an dan Hadits Nabi saw. Kalau tidak, maka konsekwensinya bukan pahala tetapi siksa dari Allah swt. Mengingat alasan dalil mengenai bahaya dan harus mewaspadai ibadah jangan sampai terkontaminasi dengan perbuatan bid'ah, maka pembahasan bid'ah agama baik dalam ibadah maupun aqidah tak lekang oleh tempat dan juga waktu. 

Tulisan ini merupakan resume dari kitab Bid'ah wa al-Syirk yang ditulis oleh Prof. Dr. Yusuf Qardhawi bersama Muhammad Al-Ghazali. 

Siapa yang punya anggapan dienul Islam (Agama Islam) masih kurang sempurna dan memerlukan tambahan-tambahan demi kemaslahatan diri dan golongan jelas menunjukkan kebodohan mereka sendiri. Mereka yang menambah-nambah dalam urusan agama ini disebut sebagai ahli bid'ah (pelaku bid’ah). Tukang, pelaku atau ahli bid’ah ini di akhirat akan memperoleh dosanya dan dosa para pengikutnya yang tertipu dan tersesat.

Pendapat ulama salaf mengenai bid'ah
  • Imam Malik Bin Anas berkata, “Barangsiapa menganggap baik perbuatan bid’ah, sama dengan menuduh Nabi Muhammad telah mengkhianati risalahnya”.
  • Imam Syafi’e berkata: "Andaikata aku mengetahui ahli bida’h itu dapat berjalan di angkasa, aku tetap tidak akan menerimanya."
  • Amar Bin Yahya pernah berkata, “Aku pernah mendengar ayah menceritakan dari datuk , “Kami pernah duduk di pintu rumah Abdullah Bin Mas’ud sebelum solat subuh. Tiba-tiba Abu Musa datang, lantas bertanya: Apakah tadi Abu Abdul Rahman datang?. Kami menjawab: Tidak. Lantas ia duduk bersama kami, sampai beliau datang. Dan tatkala ia datang, kami semua berdiri mendampinginya. Kemudian Abu Musa bertanya kepada Abu Abdul Rahman, “Hai Abu Abdul Rahman sesungguhnya saya tadi melihat di masjid ada satu perkara yangbelum pernah saya lihat. Menurut anggapanku, perbuatan itu adalah baik”. Abu Abdul Rahman kemudian bertanya, “Apakah dia itu?” Jawab Abu Musa “Jika kau mahu, akan saya terangkan. Iaitu tadi aku melihat di masjid ada satu kumpulan duduk dalam bulatan sambil menantikan solat, dalam tiap-tiap bulatan ada seorang lelaki membawa batu kerikil, seraya ia berkata: Bacalah Takbir 100 kali, merekapun kemudian bertakbir 100 kali. Dan ia berkata: Bacalah Lailahaillallah 100 kali! Mereka pun kemudian membacanya 100 kali juga. Lalu ia berkata: Bacalah Subhanallah 100 kali! Mereka pun kemudian membacanya! Mereka pun kemudian membacanya 100 kali juga”. Mereka kemudian berkata, “Demi Allah kami tiada bemaksud melainkan yang benar”. Abu Abdul Rahman kemudian menyanggahnya, “Banyak sekali orang yang bermaksud berbuat baik, tetapi mereka tidak mendapatnya (kebaikan dan ganjaran pahalanya)”. 
Dengan demikian, para ulama mendefinisikan bid’ah ialah satu cara ibadah yang direkayasa menyerupai syariat (agama); yang dimaksud dengan ‘cara’ di sini ialah sebagaimana yang dilakukan oleh syar'iat dengan tujuan untuk mengabdi kepada Allah dengan berlebih-lebihan.

Orang yang membuat cara baru dalam bentuk apa pun yang disandarkan pada agama (ibadah), dapat dikasih label sebagai penipu agama. Mereka mengkhayalkan kebatilannya itu untuk dilihatkan kepada orang lain sebagai sesuatu yang benar (haq). Mereka suka membuat sesuatu perkara yang nampaknya seolah-olah agama tetapi pada hakikatnya menyimpang dari tuntutan agama. Rasulullah s.a.w bersabda :
“Barangsiapa mengada-ada cara baru tentang urusan kami (ibadah) ini, padahal tidak bersumber darinya, dia itu tertolak”. ( Riwayat Muslim)
“Barangsiapa beramal satu amalan (ibadah) yang tidak ada contoh dari kami, ia tertolak”(Riwayat Muslim)
Bid'ah yang merajalela ini menjadi kesempatan bagi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam. Dengan tersebar luasnya perbuatan dan amalan bid’ah di kalangan umat Islam yang tidak kritis, akan disangka bahwa amalan bid’ah itu adalah syari'at Allah. Hal ini berakibat yang murni menjadi kabur dan rusak. 
Strategi untuk menghancurkan umat Islam agar lemah dan tidak bersatu hingga melumpuhkan kemajuan Islam, diterapkannya cara dengan dibesar-besarkan bid’ah dan khurafat. Akibatnya perkembangan kemajuan umat Islam jadi terhalang dan kemajuan aspek pengetahuan dan teknologi dikendalikan oleh umat lain.

Mengapa bid’ah dapat melumpuhkan potensi dan membuat lemah umat Islam serta bid'ah dapat menghancurkan pemerintahan? Sebabnya bid’ah merupakan tipuan yang tak ubahnya dengan tipuan dalam perdagangan. Barang yang baik dicampur dengan barang yang buruk yang kemudiannya dibawa ke pasar untuk ditawarkan kepada orang ramai seraya dikatakan bahawa barang tersebut adalah baik, tidak cacat dan tidak ada cacat sedikit pun.

Padahal dalam urusan ibadah, kita wajib berittiba’ (mengikut petunjuk syara'), itu adalah landasan dalam agama. Melakukan cara baru dalam ibadah adalah bid’ah yang sesat dan terkutuk.

Apabila sesuatu perkara bid’ah itu dihubungkan dengan agama, misalnya minta upah sebab membaca Al-Quran, ketika mengurus jenazah dengan maksud bertaqarrub kepada Allah, perkara seperti itu merupakan perbuatan dosa dan maksiat yang berlipat ganda. 
Dalam urusan muamalah, harus berbuat demi kemaslahatan umat.

Firman Allah swt :
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 
“… dan berbuat baiklah kamu sekalian agar kamu memperoleh keberuntungan.” (Q.S. Al-Haj : 77)
Dan firman-Nya :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ 
“... dan bertolong-tolonglah kamu sekalian untuk kebaikan dan ketakwaan”. (Q.S. Al-Maidah : 2)
Berbuat baik dan tolong menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan adalah perkara yang pelaksanaannya diserahkan penuh kepada kita, sehingga kita bebas membuat cara-cara baru. Cara-cara baru tersebut tidak boleh disalahkan dan ditolak.
Allah swt berfirman yang maksudnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا  وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا“ 
Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah dengan sungguh-sungguh ingat yang banyak dan bertasbihlah kepada Allah di waktu pagi dan petang”. (Al Ahzab ayat 41-42)
Perintah memperbanyak zikir dan bertasbih seperti tersebut di atas, bukanlah berarti memberi kebebasan kepada setiap orang untuk menambah rakaat shalat, azan dan shalat hari raya atau menyusun wirid yang kemudian ditetapkan untuk selalu dibaca dalam waktu-waktu tertentu. Ibadah-ibadah ini pokok persoalannya adalah masalah akhirat. Sedangkan masalah akhirat itu ghaib bagi manusia.

Oleh sebab itu, bagaimanapun tingginya kedudukan seseorang bahkan sudah dianggap syekh, ulama, kiyai atau apapun sebutan, mereka tidak mempunyai hak dan kebebasan untuk menambah cara-cara baru. Sedangkan dalam masalah keduniaan, tidak ada satu pun halangan untuk melaksanakan satu perintah dengan berbagai macam cara, baik cara-cara itu sudah pernah dipakai oleh orang-orang dahulu maupun belum. Misalnya tentang menjaga hak dan harta orang lain serta mengatur kemaslahatan umat, kesemuanya itu merupakan maksud yang menjadi tujuan syariat Islam.

Bid’ah yang diharamkan oleh syara' berkisar pada masalah ubudiyah yang sama sekali tidak dapat diusahakan kemaslahatannya atau diijtihadkan. Orang yang mengerjakan satu perbuatan (ibadah) yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi s.a.w., sama seperti meninggalkan perintahnya. Apabila sudah pasti bahwa Rasulullah saw tidak pernah mengerjakannya, kita wajib meninggalkannya sekalipun larangannya tidak ada. Dan kalau kita kerjakan, itu termasuk bidaah.

Contoh kasus tahlilan bid'ah, amalan ta’ziyah (bela sungkawa) terhadap orang yang meninggal dunia dengan membaca Al-Quran, membaca tawasul dan wirid, berkumpul dengan makan-makan bersama. Mencari rahmat dan pahala memang sudah ada sejak dahulu, tetapi cara tersebut tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya. Padahal, sejak dulu zaman nabi para sahabat orang yang meninggal sudah banyak dan sahabat-sahabat r.a. pun adalah di kalangan mereka melakukan itu.
Tradisi di atas ini jelas hukumnya bid’ah dan agama tidak membenarkannya karana Rasulullah saw tidak pernah mengerjakannya juga mencontohkannya, walau larangannya pun tidak ada. Jika tradisi itu kita biarkan, kita setujui dengan alasan mencari keridloan Allah dan untuk mengantarkan orang yang meninggal supaya mendapat kasih dan rahmat Allah swt, kita sebenarnya berburuk sangka (su’u zhon) terhadap Rasulullah s.a.w. dan sahabat-sahabatnya.
Nauzubillahimin zalik!

Contoh lain ialah melafazkan niat ketika akan mengerjakan ibadah (seperti membaca ‘Usholli’ ketika hendak memulai sholat), padahal Rasulullah saw tidak pernah mengerjakannya. Contoh lain, Imam berdoa sesudah sholat subuh dan asar sambil menghadap makmum dan disambut oleh makmum mengaminkannya. Nabi tidak pernah berbuat demikian walaupun sekali. Amalan tersebut wajib kita tinggalkan dan bid’ah hukumnya kalau dikerjakan.

Kehawatiran terhadap amalan ibadah yang banyak dikerjakan orang yang nabi sendiri dan para sahabat tidak pernah mengamalkannya. Padahal merekalah sebenarnya yang lebih patut untuk mengamalkannya bila sekiranya hal tersebut dipandang baik sebagai jalan untuk bertaqarrub kepada Allah swt.

Mengapa kita harus memberatkan diri terhadap sesuatu yang Allah sendiri sudah memberikan keringanan (rukhsah)? Mengapa pula kita harus menyibukkan diri pada sesuatu yang Allah sendiri mendiamkannya? Bahkan Nabi s.a.w. sendiri pernah bersabda yang bermaksud:
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa ketetapan maka jangan kamu sia-siakan dia. Allah telah menentukan beberapa ketentuan, maka jangan langgar dia. Allah telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat untuk kamu bukan lantaran lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia”. (Riwayat Daruquthni, Ibn Solah menilai hasan)
Bid’ah Haqiqi
Bid’ah Haqiqi misalnya tawaf di kuburan orang yang sudah meninggal dunia seperti tawaf di Baitullah. Contoh lain misalnya membujang seperti pendeta dengan menganggap dirinya suci. Bid’ah semacam ini tidak banyak terdapat di kalangan masyarakat kita.

Bid’ah Idafi
Bid’ah idafi ialah masalah-masalah yang dapat ditinjau dari berbagai segi; dari satu sudut boleh menjadi sunnah tapi dari sudut lain boleh menjadi bid’ah.
Jika dilihat dari satu sudut, kita akan menjumpai bahwa masalah tersebut berlandaskan kaidah yang baik dan nas yang jelas. Tetapi jika dilihat dari sudut lain, kita dapati unsur-unsur bid’ah yang jelas. Contohnya, membaca tasbih (subhanallah), tahmid (alhamdulillah) dan takbir (Allahu Akbar) sesudah sholat. Kesemuanya itu merupakan sunnah dan seluruh ulama sudah menyepakatinya. Tidak satu pun di antara mereka yang menentangnya karana memang ada dalil-dalil dari beberapa hadis sahih. Bahkan Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya selalu berbuat demikian. Namun mereka melakukannya dengan sendiri-sendiri dan dengan sirr (tersembunyi).

Kemudian ada orang yang sengaja menyusun wirid dan zikir, dan ada seorang yang bertindak sebagai pemimpin dan kemudian orang ramai mengikuti bacaannya. Cara-cara tersebut dijadikan kebiasaan setiap selesai solat dengan irama yang dibuat-buat. Orang ramai kemudian mengikutinya dan disambutnya dengan bacaan amin.

Bertasbih, tahmid dan takbir setelah solat adalah sunnah tetapi cara yang dibuat-buat inilah yang termasuk bid’ah. Mereka sudah mengetahui bahwa asas yang dipakai dalam amalannya adalah hadits yang datang dari Rasulullah saw tetapi anehnya, mereka beranggapan bahawa cara semacam itu (berzikir secara beramai-ramai dengan suara yang kuat) sebagai salah satu langkah untuk menegakkan sunnah Rasulullah saw. 

Contoh bidaah Idafi yang lain adalah seperti membaca shalawat sebelum azan sehingga orang awam mengira bahwa bacaan tersebut merupakan sebahagian daripada azan. Padahal yang sebenarnya kalimat-kalimat azan itu adalah terpelihara dan sudah menjadi ketetapan syara'.

Cara-cara seperti inilah yang dapat digolongkan bid'ah Idafi. Namun anehnya, para mu’azin sebaliknya merasa nyaman dan suka menggunakan cara tersebut untuk memanggil orang beribadah kepada Allah. Dengan demikian, status adzan yang tadinya sunnah berubah menjadi bid’ah dan sia-sia. Dari sekian contoh di atas dapat disimpulkan bahawa bid’ah Idafi itu umumnya berupa amalan-amalan yang diambil dari ajaran agama, tetapi diamalkan dengan cara yang keluar dari batas yang telah ditentukan oleh agama itu sendiri. Ajaran-ajaran agama itu tak ubahnya seperti anggota tubuh yang lengkap dengan pancaindera dan perhiasannya. Jika kaki pindah ke tempat tangan dan telinga pindah ke tempat hidung atau sebaliknya, niscaya amatlah aneh dan jelek, walaupun pemindahan itu tidak mengambil anggota lain di luar tubuh.

Contoh seterusnya ialah melaksanakan sholat khusus bulan Rojab dan Sya'ban dengan maksud tertentu. Bahkan, ada sebahagian ulama yang beranggapan amalan tersebut dibolehkan dengan alasan memandang prinsip bahawa sholat bukanlah perbuatan mungkar. Khusus dalam masalah sholat ini, Imam Nawawi pernah berkata, “Bahawa kedua macam sholat tersebut adalah mungkar”.

Begitu juga, membaca Al Quran dan zikir di hadapan jenazah dengan suara keras, termasuk bid’ah Idafi. Tentang membaca Al Quran dan zikir itu sendiri memang sudah jelas ada dalam Islam, tetapi bukan dengan cara demikian. Puasa pada tanggal 27 Rojab (dikatakan tanggal Isra’ Mi’raj) dan 15 Sya'ban (nisfu Syaaban) termasuk bidah Idafi. Prinsip puasa memang ibadah yang dibenarkan, tetapi dengan mengkhususkan pada hari-hari tersebut hukumnya bid’ah. Dengan demikian, jelaslah bahwa orang yang mengerjakan bid’ah itu berarti mencampuradukkan amalan soleh dengan yang batil, sekalipun untuk tujuan yang baik.

Amalan-amalan sebagaimana disebutkan tadi itu tidak lain kerana kebodohan mereka tentang sunnah dan kerana berfikiran jumud (sempit) ; tidak kritis menilai dan mengkaji ajaran yang dibawa oleh orang-orang jahil. 
Semoga dengan memahami kejanggalan amalan-amalan tersebut, sedikit banyak dapat memberikan semangat untuk mereka mempelajari hakikat ajaran Islam yang sebenarnya. Dan dalam meluruskan seluruh macam bid’ah itu hendaknya dilakukan dengan berangsur-angsur dan dengan sikap lemah lembut serta memberikan penjelasan yang berhikmah kepada mereka yang mengamalkannya. Hal ini dilakukan untuk menjaga dari segala macam keraguan yang selama ini menjadi keyakinannya, juga untuk menjaga agar jangan sampai nasihat-nasihat yang demikian baik itu bertukar menjadi fitnah yang menyerang pula soal-soal yang tidak ada kaitannya.

Memasukkan persoalan kebiasaan ('adiyah) ke dalam bidang ibadah merupakan bahaya besar bagi agama dan umat secara umumnya. Kadang ada pendapat yang menganggap persoalan 'adiyah ini hingga menjadi keliru dalam memahami konteks bid'ah yang dimaksudkan oleh syara'. 
Contohnya, Rasulullah saw memakai terompah yang diapit dengan dua jari kaki (Riwayat Imam lima kecuali Muslim). 
Apakah memakai terompah seperti itu termasuk sunnah agama? Apakah orang yang tidak memakai terompah seperti itu bererti meninggalkan sunnah? Atau sama sekali didiamkan? Contoh lain, ialah kaum muslimin (termasuk Rasulullah) dan musyrikin di zaman Rasulullah berpakaian putih dan memakai tutup kepala dari terik matahari yang membakar. Apakah pakaian putih dan menutup kepala juga disunatkan bagi penduduk-penduduk negeri tropis, semata-mata karana Rasulullah s.a.w. berpakaian begitu.

Contoh versi moden di zaman ini adalah seperti berikut: Rasulullah s.a.w dan sahabat dahulu semuanya menggunakan unta dan kuda sebagai angkutan. Jika kita mengendarai kereta, kapal terbang dan pengangkutan yang ada zaman ini dikira tidak mengikut sunnah? dikira bid'ah?. Ini adalah suatu salah faham yang langsung tidak tepat dan bercanggah dengan bid'ah yang dimaksudkan.

Berkata: Al-Adawi “Yang termasuk bid’ah pada masalah ‘adiyah, contohnya, ialah menghias masjid dengan berbagai warna yang dapat mengganggu orang yang sedang melakukan solat. Begitu juga lantai yang beraneka warna dan menggantungkan lampu-lampu yang harganya sangat mahal”. Sedangkan yang dianjurkan ialah membina masjid yang luas cukup untuk menampung jemaah dengan tinggi yang munasabah, dindingnya nampak bersih, dicat dengan warna yang tidak mengganggu orang sholat dan tikar solat yang sederhana.

Sebenarnya seluruh persoalan ‘adiyah, baik fi’liyah (perbuatan) atau qauliah (perkataan) bukan termasuk risalah yang dibawa oleh nabi s.a.w dan bukan juga bid'ah seperti mana yang diperkatakan. Sebabnya, masalah-masalah duniawi selalu berkembang yang mungkin diijtihadkan dengan seluas-luasnya; mungkin dikurangi, ditambah malah ditinggalkan. Menetapkan mestinya mengikut nabi s.a.w. dalam hal-hal duniawi menunjukkan kejumudan (sempitnya) berfikir dan amat berbahaya untuk kehidupan.

Mundurnya kaum muslimin dalam segala lapangan hidup seperti yang kita alami sekarang ini mungkin beralasan pada berbagai ikatan dan halangan yang berdalih “Demi berpegang pada ajaran Islam”. Akibatnya mereka terus hidup dalam belenggu ini. Mereka tidak dapat bergerak seperti yang dilakukan oleh orang lain.
Menjunjung tinggi belenggu-belengu kebatilan ini, berarti melepaskan kesempurnaan jiwa dan inti ajaran agama. Dengan begitu, hubungannya dengan agama menjadi retak, hubungannya dengan lapangan keduniannya pun menjadi kacau. Akhirnya mereka lari dari dunia ini.

Bid'ah Aqidah
Banyak sekali noda-noda yang secara lahiriahnya nampak seperti taat kepada Allah tetapi pada hakikatnya melanggar hukum dan norma-norma yang ditetapkan Allah s.w.t. telah kita maklumi, bahwa orang-orang musyrikin itu bertelanjang bulat waktu tawaf di Baitullah, baik lelaki mahupun perempuan dengan alasan tidak layak di Baitullah berpakaian yang dipakai berbuat maksiat kepada Allah.

Di antara sekian banyak yang terjadi di kalangan orang awam ialah pergi ke kuburan orang-orang soleh untuk meminta sesuatu yang tidak patut dipinta kecuali kepada Allah semata-mata. Perasaan kurang puas dalam berhubungan dengan Allah tanpa wasilah (perantaraan), merupakan adat kebiasaan kaum Watsaniyah, penyembah berhala. Alasan-alasan mereka itu seperti firmannya yang bermaksud:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ 
“Kami tidak menyembah berhala-berhala itu melainkan supaya mereka itu mendekatkan kami kepada Allah”. (Az Zumar : 3)
Alasan ini pula yang dipakai kaum jahiliah moden untuk membela pengunjung kubur untuk minta sembuh, keberuntungan, kejayaan dalam pekerjaan serta mencari keluhuran dan pertolongan. Beraneka macam khurafat mengelilingi masalah wali dan kewalian. Sehingga lama-kelamaan ramai orang-orang yang beranggapan bahawa nasib dunia berada di tangan para wali. Merekalah yang mengendalikan dunia dengan sesuka hatinya. Orang-orang yang dianggapnya wali itu kekuasaannya dapat melampaui hukum sebab akibat. Akibat dari itu, pandangan kaum muslimin terhadap sunnatullah yang berhubungan dengan alam ini menjadi kacau bilau. Mereka beranggapan bahawa sunnatullah akan tunduk kepada orang yang tekun beribadah.

Yang jelas, anggapan-anggapan itu semua, sudah bercampur aduk berasal dari pengaruh-pengaruh jahiliah. Berhala adalah batu yang layak dipakai untuk membina bangunan atau untuk membina jalan. Inilah keistimewaannya. Selain dari itu sama sekali tidak ada, tidak seperti yang dianggap oleh penyembah-penyembahnya. ‘Lembu’ yang dijadikan persembahan oleh orang-orang Hindu, keistimewaannya, adalah susunya yang dapat diminum dan dagingnya untuk dimakan. Selain itu sama sekali tidak ada, baik mengenai kesuciannya atau pun dekatnya kepada Allah.

Kadang-kadang kita menjumpai sebahagian orang menggunakan Al Quran sebagai pelindung dirinya dengan beranggapan bahawa Al Quran tersebut dapat melindungi diri dari muflis bagi peniaga, diletakkan di dalam kereta dan rumah supaya tidak terkena gangguan dan sebagainya sedangkan mereka hanya meletakkan ayat suci dan tidak pula mengamalkannya. Ini adalah kekacauan fikiran yang sudah sangat parah. Kalau dia masih beranggapan beriman kepada Allah dan meluhurkan Al Quran, sesungguhnya itu adalah anggapan yang salah. Hubungan seorang muslim dengan Al Quran, adalah mempelajari dan mengamalkan isi kandungannya. Bukan sekadar meletakkannya di tempat tertentu sebagai keramat tanpa mengamalkannya.
Firman Allah s.w.t. :
يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ 
“Dengan al-Quran itu Allah membimbing orang-orang yang mengikuti keredhaanNya ke jalan keselamatan”(Al-Maidah : 16)
يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرً
“Allah banyak menyesatkan orang sesat, tetapi Allah juga banyak memberi hidayah kepada orang yang ingin hidayah” (Al-Baqarah : 26)
Dalil di atas menegaskan bahawa Allah membuat sesuatu dengan sebab. Kerana itu barangsiapa berpendapat bahwa Allah membuat sesuatu ketika adanya sebab-sebab ini, bukan dengan sebab-sebab tersebut, sesungguhnya dia telah menyimpang dari garis yang dibawa Al Quran dan menentang adanya tenaga dan daya yang telah di cipta Allah sendiri.

Perasaan Nasionalisme
Kehancuran dan kelemahan umat Islam masa silam dan masa kini kemungkinan besar disebabkan mereka telah membuang risalah Islam yang universal itu menjadi risalah nasional (kebangsaan). Ini merupakan pokok seluruh bencana yang menimpa umat. Dan ini sungguh merupakan bahaya yang sangat besar untuk masa depan umat manusia. Kepada kaum muslimin, hendaklah mereka dapat menyedari dan menilai kenyataan yang ada:
  1.  Bahwa mengembalikan manusia kepada situasi jahiliyah dengan fanatik pada tanah air, warna dan darah adalah satu bentuk faham politheis (syirik) yang tidak patut bagi kita.
  2. Kembali kepada tata cara ini hanya akan membawa kerugian bagi Islam dan kaum muslimin serta menguntungkan bagi musyrik.
Kaum Salib menghancurkan dan meruntuhkan Islam dengan tabir nasionalisme. Bahayanya tidak kurang daripada perbuatan gerakan Zionis. Akibatnya kaum muslimin menderita dalam masa yang lama sekali.

BId'ah Ibadah
Lawan ‘zikir’ adalah ‘lupa’ yang merupakan pekerjaan hati, bukan pekerjaan lidah. Kerana itu kadang-kadang kita jumpai ada sebahagian orang yang mempunyai ingatan yang tajam dan baik yang dapat memenuhi seluruh jiwanya, padahal lidahnya sama sekali tidak bergerak dan tidak satu pun anggota badannya yang berubah. Ketenangan badannya itu menolong untuk selalu ingat. Jika dia tunduk dan tenggelam, jiwanya dengan sempurna dapat membentuk seluruh lukisan yang dimaksud. Gerakan lidah waktu itu hanya sekadar manifestasi, bukan satu natijah dari meluasnya perasaan.

Banyak sekali orang pendiam yang tidak keluar satu pun huruf dari mulutnya, namun hatinya penuh ingat kepada Allah. Sebaliknya, orang yang lidahnya bergerak-gerak menyebut asma Allah, tetapi hatinya kosong dari berzikrullah. Orang seperti itu tak ubahnya seperti pita rakaman Al-Quran. Dia akan menyuarakan ayat-ayat sebanyak yang dirakam itu, tetapi tidak mempunyai tanggungjawab hukum sama sekali. Mereka ini tidak mendapat pahala ataupun seksa.

Adalah suatu kebaikan bagi setiap muslim jika mahu membiasakan membawa zikir-zikir tersebut ( tasbih, tahmid dan takbir dan sebagainya) dan menanamkan pengaruh-pengaruh positif ke dalam jiwanya. Tetapi sayang sekali, banyak kita jumpai kekeliruan yang melampaui batas. Sehingga untuk mengulangi-ulangi bacaan zikir tersebut itu, mereka terpaksa berhenti dari bekerja.

Kalau ada sebahagian orang membuat program membaca Al Quran, berdoa dan berzikir sesuai dengan keperluannya, itu tidak dapat dikategorikan sebagai ketentuan agama. Orang lain juga tidak boleh diharuskan untuk menirunya. Sehingga banyak pengikut tarikat membuat wirid-wirid khusus untuk pagi dan petang, yang dirangkaikan pula dengan solat-solat tertentu sebagai satu ketentuan agama.

Kami sudah banyak menyaksikan orang yang bergelumang dalam wirid-wirid. Pada umumnya mereka itu mengabaikan dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dan kami yakin pula bahawa kemunduran Islam dalam lapangan pengeluaran atau pun kekayaan, disebabkan oleh manusia-manusia seperti ini. Sebabnya tidak lain mereka itu telah sesat dari tuntutan Rasulullah s.a.w., sehingga mereka menyimpang dari jalan yang lurus.
Allah s.w.t berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ 
“Orang yang bertakwa kepada Allah dari hamba-hambanya ialah orang-orang yang berilmu pengetahuan”.(Fathir, 35: 28)
Memperluaskan perkenalan kepada Allah merupakan ibadah yang tertinggi. Dan mengenal Allah dalam kerajaannya yang luas ini, bererti menyambut seruan Allah yang dituangkan dalam kitab-kitabNya. Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan alam tidak lain hanya akan sesuai dengan wahyu yang datang dari sisi hukum material. Kedua-duanya itu juga datangnya dari Allah semata-mata.

Mempersempitkan pengertian “amal soleh” hanya dalam bidang ibadah semata-mata, dapat membawa orang-orang yang ingin bertakwa menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk mengulang-ulang perbuatan-perbuatan yang terbatas ini. Seolah-olah mereka tidak kenal cara lain untuk mencari keredhaan Allah. Dengan tekun mereka mengerjakan amal-amal ini. Kalau sudah selesai diulang lagi. Begitulah seterusnya.

Apa yang kami tentang adalah adanya perasaan bahawa yang disebut taat kepada Allah itu hanya bergelumang dengan zikir, membaca al-Quran dan solat dengan mengulang-ulang sahaja. Apakah anda mengira bahawa seorang hakim yang sibuk menyelesaikan persengketaan dan bangun malam untuk mempersiapkan hukumnya, itu kurang mendapat keredaan Allah dibandingkan dengan orang yang tekun membaca Al Quran?

Apakah anda menduga, bahawa guru yang berjuang untuk memberantas kejahilan, dengan bangun malam untuk mempersiapkan pelajaran-pelajaran, itu nilainya lebih rendah dibandingkan dengan orang yang bergelumang dalam zikir?. Tidak, bahkan kedua-duanya lebih dekat kepada Allah dan lebih dekat dengan jalan yang benar.

Kerana itulah orang yang tidur lelap pada malam hari karana cape membanting tulang di siang hari dinilai sebagai mujahid. Dia dapat tidur dan bangun dengan mata Allah, selama kesucian hatinya itu hidup. Kekeliruan memahami erti ibadah, akan memesongkan kemajuan dan kebudayaan kita dari jalan yang benar dan menyebabkan kita menganggap orang yang bodoh sebagai pandai dan sebaliknya. Dan inilah sebab kehancuran yang kini menimpa bangsa kita.

Imam Abu Hanifah pernah berkata: 
“Jangan kamu bertukar fikiran dengan orang yang di rumahnya tidak ada tepung”.
Perkataan ini sungguh hebat. Kalau sekiranya ahli-ahli tasawuf dapat memahami cara-cara seperti tersebut di atas, dia termasuk Islam. Kalau tidak bererti dia telah rusak. Bukanlah yang dimaksud takwa itu mesti meninggalkan kehidupan duniawi. Yang dinamakan takwa itu seharusnya dapat menguasai duniawi. Jika dunia dapat dikuasai, bererti anda benar-benar hamba Allah dan kekayaan yang di tangan anda itu juga milik Allah. Orang yang lari dari kehidupan duniawi bukanlah orang yang bijaksana dan bukan mukmin sejati.

Termasuk kurang sehat akalnya orang yang berpendirian bahwa keridloan Allah hanya dapat ditempuh dengan mengkhususkan dalam sebahagian ibadah dan menjauhi sebahagian yang lain. Beribadah kepada Allah dapat dilakukan di pasar dan di semua lapangan, bukan hanya di masjid dan di madrasah saja. Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh penyair Iqbal:
“Orang kafir akan menjadi hamba kepada dunia sedangkan dunia akan menjadi hamba kepada orang mukmin”
Diresume dan disadur ulang dari Kitab Bid'ah wa al-Syirk karya Dr Yusuf Qardhawi dan Muhammad Al-Ghazali, oleh Asep Iwan (Aswan) Anggota PC. Persis Cibeureum Tasikmalaya penulis Tahlilan Kematian Bid'ah. Bila anda ingin mengetahui pembagian bid'ah baca juga Adakah bid'ah hasanah? Semoga bermanfaat.

Share :