A.
Pengertian Aqidah
‘Aqidah
(اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu
(الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(التَّوْثِيْقُ) yang berarti
kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya
mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang
berarti mengikat dengan kuat.
[1] Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah ازوجلّ dengan segala pelaksanaan ke-wajiban, bertauhid [2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.
"Dan barangsiapa yang
menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang
yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang
yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya" (QS. An-Nisa':69
B.
Pembagian Aqidah
Walaupun
masalah qadha' dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan umat Islam,
tetapi Allah telah membukakan hati para hambaNya yang beriman, yaitu para Salaf
Shalih yang mereka itu senantiasa rnenempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan
pendapat. Menurut mereka qadha' dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah atas
makhlukNya. Maka masalah ini termasuk ke dalam salah satu di antara tiga macam
tauhid menurut pembagian ulama:
Pertama: Tauhid Al-Uluhiyyah,
ialah mengesakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan
karenaNya semata.
Kedua: Tauhid
Ar-Rububiyyah,
ialah rneng esakan Allah dalam perbuatanNya, yakni mengimani dan meyakini bahwa
hanya Allah yang Mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta ini.
Ketiga: Tauhid
Al-Asma'
was-Sifat, ialah mengesakan Allah dalam asma dan sifatNya.
Artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Subhanahu wa
Ta'ala. dalam dzat, asma maupun sifat.
Iman kepada
qadar adalah termasuk tauhid ar-rububiyah. Oleh karena itu Imam Ahmad berkata:
"Qadar adalah kekuasaan Allah". Karena, tak syak lagi, qadar (takdir)
termasuk qudrat dan kekuasaanNya yang menyeluruh. Di samping itu, qadar adalah
rahasia Allah yang- tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat mengetahui
kecuali Dia, tertulis pada Lauh Mahfuzh dan tak ada seorangpun yang dapat
melihatnya. Kita tidak tahu takdir baik atau buruk yang telah ditentukan untuk
kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan
nash yang benar
Tauhid itu ada
tiga macam, seperti yang tersebut di atas dan tidak ada istilah Tauhid
Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah karena istilah ini adalah istilah yang
baru. Apabila yang dimaksud dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah Azza wa
Jalla, maka hal ini sudah masuk ke dalam kandungan Tauhid Rububiyah. Apabila
yang dikehendaki dengan hal ini adalah pelaksanaan hukum Allah di muka bumi,
maka hal ini sudah masuk ke dalam Tauhid Uluhiyah, karena hukum itu milik Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada Allah
semata. Lihatlah firman Allah pada surat
Yusuf ayat 40. [Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas]
C.
Perkembangan Aqidah
Pada masa
Rasulullah SAW, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena
masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun
terjadi langsung diterangkan oleh beliau. Makanya kita dapatkan keterangan para
sahabat yang artinya berbunyi : "Kita diberikan keimanan sebelum
Al-Qur'an"
Nah, pada masa
pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman -pemahaman baru
seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena melakukan
tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash.
Timbul pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan timbul pula
kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma'bad Al-Juhani
(Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shohih Muslim oleh Imam
Nawawi, jilid 1 hal. 126) dan dibantah oleh Ibnu Umar karena terjadinya
penyimpangan-penyimpangan. Para ulama menulis
bantahan-bantahan dalam karya mereka. Terkadang aqidah juga digunakan dengan
istilah Tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama), As-Sunnah (jalan yang
dicontohkan Nabi Muhammad), Al-Fiqhul Akbar (fiqih terbesar), Ahlus Sunnah wal
Jamaah (mereka yang menetapi sunnah Nabi dan berjamaah) atau terkadang
menggunakan istilah ahlul hadits atau salaf yaitu mereka yang berpegang atas
jalan Rasulullah SAW dari generasi abad pertama sampai generasi abad ketiga
yang mendapat pujian dari Nabi SAW. Ringkasnya : Aqidah Islamiyah yang shahih
bisa disebut Tauhid, fiqih akbar, dan ushuluddin. Sedangkan manhaj (metode) dan
contohnya adalah ahlul hadits, ahlul sunnah dan salaf.
D.
Bahaya Penyimpangan Aqidah
Penyimpangan
pada aqidah yang dialami oleh seseorang berakibat fatal dalam seluruh
kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang
tidak berkesudahan di akherat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas
dan penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti. Biasanya
penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor diantaranya :
1.
Tidak menguasainya pemahaman aqidah
yang benar karena kurangnya pengertian dan perhatian. Akibatnya berpaling dan
tidak jarang menyalahi bahkan menentang aqidah yang benar.
2.
Fanatik kepada peninggalan adat dan
keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang benar. Seperti firman Allah SWT
tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima aqidah yang dibawa oleh para
Nabi dalam Surat Al-Baqarah 170 yang artinya : "Dan apabila dikatakan
kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah," mereka
menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati
dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apabila mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk."
3.
Taklid buta kepada perkataan
tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat sesuai dengan
argumen Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia
ikut tersesat.
4.
Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai
dan mengangkat para wali dan orang sholeh yang sudah meninggal dunia, sehingga
menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat seperti perbuatan
Tuhan. Hal itu karena menganggap mereka sebagai penengah/arbiter antara dia
dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat meminta, bernadzar dan
berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah. Demikian itu
pernah dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh AS ketika mereka mengagungkan kuburan
para sholihin. Lihat Surah Nuh 23 yang artinya : "Dan jangan pula
sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa',
Yaghuts, Ya'uq dan Nasr."
5.
Lengah dan acuh tak acuh dalam
mengkaji ajara Islam disebabkan silau terhadap peradaban Barat yang
materialistik itu. Tak jarang mengagungkan para pemikir dan ilmuwan Barat serta
hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan
kebudayaan mereka.
6.
Pendidikan di dalam rumah tangga,
banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga anak tumbuh tidak mengenal
aqidah Islam. Pada hal Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan yang artinya : "Setiap
anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua orang tuanya yang
meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya" (HR: Bukhari).
Apabila anak terlepas dari
bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh acara / program televisi
yang menyimpang, lingkungannya, dan lain sebagainya.
7.
Peranan pendidikan resmi tidak
memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan keagamaan seseorang. Bayangkan, apa
yang bisa diperoleh dari 2 jam seminggu dalam pelajaran agama, itupun dengan
informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak maupun elektronik
banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan mendistorsinya secara besar-besaran.
Tidak ada jalan lain untuk
menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut
diatas adalah mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang
shahih agar hidup kita yang sekali dapat berjalan sesuai kehendak Sang Khalik
demi kebahagiaan dunia dan akherat kita, Allah SWT berfirman dalam Surah
An-Nisa' 69 yang artinya : "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan
Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi
ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid
dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."
Dan juga dalam Surah
An-Nahl 97 yang artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh
baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan."