Hadits Perbedaan Pendapat Ikhtilaf adalah Rahmat

Salah satu Hadisth Nabi SAW yang dikenal luas dikalangan umat Islam adalah sabda Nabi SAW : “Ikhtilaf umati rahma” atau perbedaan pendapat (dikalangan) umatku adalah rahmat (dari Allah SWT).

Berdasarkan hadisth ini maka beragamnya pendapat di kalangan umat Islam sehubungan dengan berbagai urusan/masalah keagamaan justru dinilai sebagai rahmat dari Allah SWT. Padahal dilain pihak seorang awam sekalipun paham bahwa perbedaan pendapat adalah merupakan awal atau sebab terjadinya perpecahan (bercerai-berai), perselisihan dan pertentangan. Apalagi jika perbedaan pendapat itu berkaitan dengan masalah-2 keagamaan, sejarah umat manusia seringkali menunjukan ujungnya berakhir dengan pertumpahan darah.

Padahal jika perbedaan pendapat adalah merupakan rahmat Allah SWT, maka secara a contrario atau sebaliknya tentunya “persesuaian/kesatuan pendapat” adalah merupakan azab atau musibah dari Allah SWT, meskipun persesuaian pendapat merupakan pondasi persatuan dikalangan umat.

Dilihat secara sepintas hadisth “ikhtilaf umati rahma” ini nampaknya sejalan benar semangatnya dengan situasi modern yang mendorong prinsip kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat. Bukankah demokrasi pada hakekatnya adalah juga manifestasi dari proses perbedaan pendapat yang ditentukan secara kuantitatif? Dimana perbedaan pendapat itu di representasikan dalam bentuk pendapat yang banyak/mayoritas dan yang sedikit/minoritas. Menurut paham demokrasi pendapat yang banyaklah yang benar, bahkan dianggap setara dengan pendapat Tuhan (vox populi vox dei), sedangkan pendapat yang sedikit/minoritas adalah pendapat yang salah atau pendapat syaitan.

Ketentuan Kitabullah
Masalahnya apakah prinsip “perbedaan pendapat” ini dapat diberlakukan berkenaan dengan urusan agama (Islam)?.
Untuk mencari jawabannya marilah kita lihat apakah yang di Firmankan oleh Allah SWT di dalam Al Quran:

Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang tentang (kebenaran) Al Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh. (QS. Al Baqarah [2] : 176)
Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.

Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS. Al Baqarah [2] : 213)
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; …”(QS. Ali Imran [3]: 103)
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (QS. Ali Imran [3]: 105)

Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah mema`afkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran [3]: 152)

Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu. (QS. Yunus [10] : 19)

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. (QS. Huud [11] : 118)

Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.(QS. Asy Syuura [42] : 10)

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul, …”(QS. An-Nisa [4]: 59)

“dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. …”(QS. Al An’am [6]: 153)

“Dan kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama); maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) diantara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya”.
(QS. Al Jasiyah [45]: 17)

Berdasarkan beberapa ayat yang memuat Firman Allah SWT di dalam Al Quran tersebut diatas (hanya sebahagian kecil saja ayat yg dikutip, masih banyak lagi ayat senada pada Al Quran), jelas bahwa Allah SWT tidak menghendaki umat Islam bercerai-berai karena saling berbeda pendapat. Sebaliknya justru Allah SWT menghendaki agar umat Islam bersatu padu layaknya saling bersaudara. Bahkan pada QS. Ali Imran [3] : 105, Allah SWT mengancam akan memberikan siksa yang berat kepada orang-2 yang berselisih.

Pertanyaannya adalah, mengapa justru Hadisth Nabi SAW justru mengatakan perbedaan pendapat itu adalah rahmat dari Allah SWT? Bukankah jelas sekali terlihat adanya perbedaan maknanya dengan Firman Allah pada Al Quran?.

Sekilas Tentang Hadist Rasulullah SAW
Sebelum membahas secara lebih mendalam tentang hadist “ikhtilaf umati rahma”, ada baiknya jika dijelaskan secara ringkas tentang apa yang dimaksudkan dengan hadist itu sendiri.

Hadist menurut Bahasa Arab adalah “ucapan” , tetapi dalam perkembangannya menurut kontek Islam, hadist kemudian mengandung arti sebagai catatan tertulis tentang segala ucapan (atau diamnya) dan tindakan (baik aktif maupun pasif) yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, atau disebut juga sebagai Hadist Nabi SAW.

Karena Hadist Nabi SAW mengandung segala sesuatu yang berkaitan dengan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW yang harus diikuti, dipatuhi dan ditaati oleh umat Islam, maka “Hadist Nabi SAW” juga dikatakan sebagai “Sunnah Nabi SAW”.

Sunnah Nabi SAW menempati urutan kedua setelah Al Qur’an sebagai sumber dari segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran Agama Islam, berdasarkan firman Allah SWT :

Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
(QS. Al Anfal [8] : 46

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
(QS. Al Ahzab [33] : 36)

Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan-nya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.
(QS. An Nisa [4] : 14)

Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.
(QS. An Nuur [24] : 52)

Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang-orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barangsiapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.
(QS. Al Fath [48] : 17)

Dimasa hidupnya Rasulullah SAW, banyak kaum muslimin yang mencatat Sunnah-sunah Nabi SAW. Tetapi setelah Rasulullah SAW wafat, dan Abu Bakar ra menjabat sebagai Khalifah pertama, maka diperintahkan agar kaum muslimin membakar (memusnahkan) catatan sunah Rasulullah SAW yang dimiliki oleh setiap muslimin (para Sahabat). Kebijakan ini terus berlanjut sampai Umar bin Khattab ra menjabat sebagai Khalifah kedua. Bahkan dimasa kekuasaannya Umar bin Khattab ra telah memerintahkan kepada semua kaum muslimin yang masih menyimpan catatan hadist yang belum dimusnahkan agar menyerahkannya kepada Khalifah, dengan sanksi bagi siapa yang tidak menyerahkan catatan hadist akan dijatuhi hukuman yang berat. Setelah catatan hadist kaum muslimin itu terkumpul, maka Khalifah Umar bin Khattab ra memerintahkan untuk membakarnya. Adapun alasan Khalifah Pertama dan Khalifah Kedua memusnahkan catatan hadist sebagaimana diriwayatkan oleh kitab-kitab sejarah adalah untuk mencegah terjadinya percampuran antara catatan hadist dengan catatan ayat-ayat Al Qur’an yang dikatakan pada waktu itu belum di himpun.

Riwayat sejarah di atas kiranya perlu diluruskan, karena menurut hadist-hadist yang dianggap sahih yang sampai pada umat Islam generasi kinipun diketahui bahwa semasa Rasulullah SAW masih hidup ayat-ayat Al Qur’an telah dihimpun. Hadist-hadist dibawah ini membuktikan hal itu.

Dari Abdul ‘Aziz bin Rufai’katanya: Saya masuk kepada Ibnu Abbas ra bersama Syaddad bin Ma’qil, lalu Syaddad bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apakah Nabi saw meninggalkan sesuatu?”. Ibnu Abbas menjawab: “Nabi saw tidaklah meninggalkan kecuali apa yang terdapat antara dua kulit.”

Syaddad berkata: “Kami masuk kepada Muhammad bin Al Hanafiyyah, lalu kami bertanya kepadanya. Ia menjawab: “Nabi tidaklah meninggalkan kecuali apa yang terdapat antara dua kulit”. [1]
(maksudnya adalah Mushaf Al Qur’an – red.)

Qotadah berkata: Aku bertanya Anas bin Malik ra “Siapa yang mengumpulkan Al Qur’an pada zaman Nabi saw?. Beliau menjawab: “Empat orang, semuanya dari golongan Anshor: “Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaed”. [2]

Dari Anas berkata: “Nabi saw. Telah wafat sementara Al Qur’an belum dikumpulkan kecuali (oleh) empat orang: “Abu Darda’, Mua’adz bin Jabal, Zaed bin Tsabit dan Abu Zaid”. Katanya: “Kami mewariskan pengumpulan itu”. [3]

Disamping himpunan ayat-ayat Al Qur’an atau disebut juga sebagai “Mushaf” yang dikumpulkan oleh beberapa orang Sahabat yang ditugasi oleh Rasulullah SAW, di antara para Sahabat lainnya atas inisiatif masing-masing di masa Rasulullah SAW masih hidup juga telah menyusun Mushaf Al Qur’an. Sehingga di masa akhir kehidupan Rasulullah SAW sudah terdapat beberapa Mushaf Al Qur’an.

Jadi alasan pemusnahan hadist karena kekhawatiran akan tercampur dengan catatan ayat-ayat Al Qur’an tidak dapat diterima, karena bukankah Al Qur’an sendiri pada saat itu telah dihimpun kedalam beberapa Mushaf. Tambahan lagi dari segi bentuk kalimat/bahasanya, mudah sekali membedakan antara catatan hadist dengan catatan ayat-ayat Al Qur’an. Kekhawatiran tercampurnya catatan hadist dengan catatan ayat-ayat Al Qur’an juga sangat berkelebihan. Sesuatu hanya mungkin bisa tercampur dengan sesuatu yang lainnya, jika keduanya saling serupa atau mirip satu dengan lainnya.

Padahal Allah SWT sendiri telah berfirman :
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".
(QS. Al Isra [17] : 88)

Tidaklah mungkin Al Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."
(QS. Yunus [10] : 37-38)

Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Qur'an itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar".
(QS. Huud [11] : 13)

Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur'an itu jika mereka orang-orang yang benar.
(QS. At Thuur [52] : 34)

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.
(QS. Al Baqarah [2] : 23-24)

Berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an di atas, maka tidaklah mungkin catatan hadist-2 itu serupa dengan catatan ayat-ayat Al Qur’an, bahkan ditinjau dari bentuk kalimatnya saja tidak mungkin serupa. Karenanya pula tidaklah mungkin terjadi percampuran antara catatan hadist dengan catatan ayat-ayat Al Qur’an.

Sehingga apa alasan sebenarnya dari kebijakan pemusnahan Hadist Nabi SAW dimasa Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar bin Khattab tetap menjadi tanda tanya besar.

Sejak itulah hadist-2 Nabi SAW yang semula ada sebahagian yang berbentuk tertulis, mengalami perubahan bentuk seluruhnya menjadi lisan yang diwariskan dari mulut ke mulut, dan dari masa kemasa menjadi semakin sedikit saja jumlahnya sejalan dengan banyaknya kaum muslimin dari generasi Sahabat (orang-orang muslim yang hidup pada masa Rasulullah SAW) yang gugur dalam peperangan maupun wafat karena usia tua.

Periwayatan hadist secara lisan ini sangatlah rentan terhadap kemungkinan perubahan, pengurangan maupun penambahan makna yang terkandungnya. Ditambah lagi Bahasa Arab tergolong bahasa yang cukup kompleks, dimana perbedaan pengucapan satu huruf pada satu kata saja dapat berakibat berbedanya arti kata yang bersangkutan.

Selain itu periwayatan secara lisan ini membuka lebar kemungkinan masuknya hadist-2 palsu yang memuat kepentingan berbagai golongan dikalangan umat Islam maupun dari luar kalangan umat Islam.

Baru pada sekitar tahun 150 H s/d 200 H dimulai secara terbatas upaya menuliskan hadist-2 yang selama ini beredar dikalangan umat Islam secara lisan, dan kemudian menghimpunnya kedalam kitab hadist (Musnad). Diantara pelopor penulisan hadist ini adalah Ahmad Hanbal dengan Musnad Hanbal yang menjadi salah satu kitab hadist tertua.

Kegiatan pengumpulan, penulisan dan penghimpunan hadist Nabi SAW terus berlanjut pada Abad ke-3 H (200 H s/d 300 H), sehingga sejak itu bermunculah beratus-ratus kitab hadist.

Mayoritas umat Islam atau yang dikenal sebagai golongan “Ahlussunnah wal Jama’ah” atau disebut juga “SUNI”, menyakini bahwa dari sekian banyak kitab2 hadist (ada ratusan kitab hadis), maka hanya ada 6 (enam) kitab hadist (“Kuttubus Sittah” atau “Kitab Yang Enam”) yang dianggap Sahih (benar) yang boleh dijadikan rujukan bagi umat Islam (Ahlussunnah wal Jama’ah), yaitu kitab2 hadist yang disusun oleh: Bukhari, Muslim, Tarmudzi, Nadzai, Abu Dawud, Ibnu Majah.

Tetapi diantara ke-6 kitab hadist tersebut tidak semuanya mempunyai tingkat ke-sahih-an yang sama. Oleh karenanya kemudian diadakan lagi pembedaan, yaitu Kitab Sahih Bukhari dan Kitab Sahih Muslim, atau disebut sebagai “Shahihain” menempati peringkat pertama, sedangkan ke-empat kitab hadis lainnya menempati urutan kedua.

Perbedaan peringkat ke-sahih-an mengandung arti apabila suatu hadist tertentu (yang subyeknya sama) yang dimuat secara berbeda arti dan makna pada ke-6 kitab hadis tersebut, maka yang dijadikan pegangan umat Islam adalah hadis yang dimuat pada “Shahihain” (Kitab Sahih Bukhari dan Kitab Sahih Muslim).

Kemudian bagaimana jika diantara Shahihain juga terdapat perbedaan tentang suatu hadist? Maka yang dijadikan pegangan umat Islam adalah hadist yang tercantum pada Kitab Sahih Bukhari yang dianggap sebagai “Kitab Kedua tersahih setelah Al Qur’an”

Berangkat dari penjelasan tentang sejarah penulisan hadist Nabi SAW di atas, kiranya bisa dipahami adanya perbedaan originalitas dan otentisitas hadist dengan Al Quran yang dijamin oleh Allah SWT bebas dari penyimpangan, penyelewengan dan pemalsuan sebagaimana di Firmankan-Nya pada QS. Al Hijr [15]: 9 : “Kamilah yang menurunkan al-Zikr (al-Qur’an) dan Kamilah yang memeliharanya (daripada penyelewengan)”, sedangkan untuk hadisth tidak ada jaminan terbebas dari upaya pemalsuan, baik jaminan dari Allah SWT ataupun jaminan dari Rasulullah SAW sendiri.

Perlu kiranya dipahami bahwa sebuah hadist yang dinilai sahih (original dan otentik) dan kemudian dimuat kedalam kitab hadist adalah semata-mata didasarkan pada originalitas dan otentisitas rangkaian atau rantai orang-orang penyampai hadistnya atau disebut juga “perawi hadist” yang sambung-menyambung sampai kepada Rasulullah SAW. Rantai perawi hadist ini disebut juga “sanad”. Jadi jika sebuah hadist sanadnya lengkap (tersambung secara tidak terputus sampai ke Rasulullah SAW), dan para perawinya semuanya terdiri dari orang-2 yang jujur (tsiqah), maka hadist tersebut telah dinilai sahih.


Dengan demikian predikat “sahih” sebuah hadist sama sekali tidak memperhatikan apakah muatan atau isi atau “matan” hadistnya benar atau tidak berasal dari Rasulullah SAW. Bisa saja terjadi suatu sunnah benar-2 diucapkan oleh Rasulullah SAW, namun karena sanadnya tidak lengkap, maka ucapan Rasulullah SAW itu tidak dianggap sebagai hadist atau mungkin dinilai sebagai hadist yang lemah, atau bahkan dinilai sebagai hadist yang palsu (dhaif). Tetapi juga bisa terjadi yang sebaliknya, yaitu suatu sunnah sesungguhnya tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah SAW, melainkan diucapkan oleh orang lain yang mengatas-namakan Rasulullah SAW, namun karena ucapan tersebut diriwayatkan melalui sanad yang lengkap, maka ucapan tersebut kemudian dinilai sebagai hadist yang sahih.

Kelemahan aspek originalitas dan otentisitas (ke-sahihan) hadist yang semata-mata didasarkan pada “sanad” ini telah ditenggarai dan di antisipasi oleh Rasulullah SAW sendiri dimasa hidup Beliau SAW, dimana pada sebuah hadist yang disepakati ke-sahihannya oleh seluruh kaum muslimin, Beliau SAW bersabda :

Bilamana datang kepada kalian sesuatu yang mengatasnamaku (maksudnya adalah hadist-red.), maka hendaknya pertama-tama kalian sandingkan dengan Kitabullah, jika ia bersesuaian (dengan Al Qur’an –red.) maka terimalah ianya sebagai dariku, tetapi jika ia tidak bersesuaian dengan Kitabullah, maka hendaknya kalian membuangnya jauh-jauh.

Parameter atau ukuran atau alat uji untuk menilai ke-sahihan sebuah hadist dari segi “matan” atau isinya sebagaimana ditetapkan oleh Rasulullah SAW sendiri di atas sungguh tepat, karena sebagai Rasul/Nabi Allah tidaklah mungkin Rasulullah SAW mengucapkan perkatan atau melakukan tindakan yang tidak sesuai apalagi bertentangan dengan apa yang tercantum didalam Al Qur’an.

Parameter dari Rasulullah SAW ini merupakan prinsip utama didalam menilai ke-sahihan sebuah hadist dari sudut “matan”nya, tetapi disamping itu juga tetap perlu diperhatikan parameter2 kesahihan hadist berdasarkan “sanad” sebagaimana yang ditetapkan oleh Ilmu Kajian tentang Hadist.
Kesemua parameter inilah yang harus digunakan untuk menilai ke-sahihan sebuah hadist, sekalipun hadist tersebut terdapat didalam Kuttubus Sittah atau Shahihain.

Asbabul Wurud
Salah satu cara untuk memahami sebuah hadist menurut Ilmu Kajian Hadist adalah melalui peneluran sejarah yang berkaitan dengan sebab kelahiran hadist yang bersangkutan, atau dinamakan sebagai “Asbabul Wurud”. Sedangkan “Asbabun Nuzul” adalah kajian tentang tentang sejarah yang berkaitan dengan turunnya sebuah/sekelompok ayat Al Qur’an.

Asbabul Wurud Hadist “Ikhtilaf umati rahma” , adalah sebagai berikut :
Sejak diangkat sebagai Nabi, Rasulullah SAW menyelenggarakan majelis-2 (pertemuan2) dalam rangka menyampaikan ajaran Islam. Majelis2 Rasulullah SAW selama di Mekkah sifatnya tertutup dan sembunyi2 karena adanya ancaman dari kaum musrikin Mekkah. Tetapi ketika Rasulullah SAW berada di Madinah (setelah hijrah), majelis2 ini semakin sering diadakan dan terbuka bagi semua kaum muslimin. Ketika mengikuti majelis Rasulullah SAW inilah kaum muslimin berkesempatan menanyakan berbagai masalah kepada Rasulullah SAW secara langsung.

Namun pada umumnya (kebanyakan) kaum muslimin yang bertempat tinggal Madinah, sangat segan untuk bertanya kepada Rasulullah SAW, karena berbagai alasan. Diantaranya karena khawatir dikesankan sebagai tidak paham Islam oleh yang lainnya, atau karena enggan masalah2 yang dihadapinya (terutama jika berkaitan dengan masalah2 yang bersifat pribadi/keluarga), akan diketahui oleh yang lainnya, jika masalah itu ditanyakan untuk mendapatkan jawaban dari Rasulullah SAW.
Sehingga meskipun sebenarnya mereka mempunyai pertanyaan untuk mendapatkan jawabannya dari Rasulullah SAW, namun mereka ini diam saja dan tidak bertanya.

Dilain pihak, kalangan Arab Baduwi yang tinggal di luar Madinah, tidak semuanya datang pada setiap majelis Rasulullah.

Biasanya setiap Kabilah mengirimkan satu atau dua orang utusan secara bergantian untuk mengikuti majelis-2 Rasulullah SAW. Hal ini mereka lakukan (mengirim satu atau dua orang secara bergantian), karena para pria sangat diperlukan untuk melindungi keamanan perkemahan Kabilah mereka masing2.

Orang yang diutus mengikuti majelis Rasulullah SAW kemudian menyampaikan segala sesuatu yang didengarnya kepada anggota Kabilahnya. Dan seringkali pula orang yang diutus itu dititipi pertanyaan2 untuk disampaikan kepada Rasulullah SAW oleh anggota Kabilah lainnya yang tidak ikut pergi. Demikianlah orang2 Arab Baduwi ini “datang dan pergi atau hilir-mudik atau simpang-siur” secara bergantian (bergiliran) mengikuti majelis-2 Rasulullah SAW.

Datang-pergi atau hilir-mudik atau simpang-siur ini dalam kosa-kata Bahasa Arab disebut juga sebagai “Ikhtilaf”. Seperti juga pada bahasa2 lainnya, satu kosa-kata dalam Bahasa Arab bisa mengandung beberapa arti.

Kata “Ikhtilaf” dalam Bahasa Arab mengandung beberapa arti, yaitu diantaranya adalah “simpang-siur atau perbedaan pendapat”, tetapi juga dapat berarti “simpang-siur atau hilir-mudik atau datang-pergi nya orang-2”.

Orang-2 Arab Baduwi ini pada umumnya berwatak keras dan kasar, apalagi mereka kurang mengenal orang2 Madinah, sehingga ketika mereka berkesempatan mengikuti majelis2 Rasulullah SAW, tidak segan2 dan tidak malu2 bertanya (baik pertanyaan sendiri maupun pertanyaan titipan dari anggota Kabilahnya) kepada Rasulullah SAW tentang berbagai masalah, sekalipun masalah yang ditanyakan itu seringkali sifatnya sangat pribadi karena menyangkut persoalan suami-isteri ataupun persoalan keluarga. Pertanyaan-2 sejenis ini juga sebenarnya ada dikalangan Muslimin Madinah, tetapi mereka tetap diam dan enggan menyampaikannya kepada Rasulullah SAW.

Manakala Rasulullah SAW menjawab pertanyaan-2 Arab Baduwi tersebut, maka seluruh kaum muslimin yang hadir di dalam majelis yang bersangkutan ikut mendengar jawaban-2 Rasulullah SAW itu, termasuk kaum muslimin Madinah yang mempunyai pertanyaan serupa tetapi tidak bertanya, sehingga berarti mereka juga ikut memperoleh jawaban dari Rasulullah SAW atas pertanyaan2 mereka selama ini.

Dengan demikian, karena adanya Orang2 Arab Baduni yang datang-pergi atau hilir-mudik atau simpang-siur (“ikhtilaf”) menghadiri majelis-2 Rasulullah SAW , serta mengajukan pertanyaan2, maka orang2 lainnya yang hadir pada majelis tersebut mendapatkan rahmat, karena memperoleh penjelasan baru tentang agama Islam (yang mungkin selama itu belum diketahuinya) ataupun juga memperoleh jawaban atas pertanyaan2 yang selama itu mereka pendam.

Inilah sesungguhnya makna hadist “ikhtilaf umati rahma” (hilir-mudiknya umatku adalah rahmat) berdasarkan asbabul wurudnya.

Perubahan Makna Kata “Ikhtilaf”.
Perubahan lafal kata, susunan kalimat dan bahkan makna pada sebuah hadist sangatlah mungkin terjadi, karena faktor-faktor antara lain :
  1. 1. Hadist merupakan kumpulan kalimat bermakna (khazanah) yang bersifat lisan, serta diriwayatkan melalui lisan (mulut ke mulut) dari satu generasi ke generasi yang berikutnya selama kurang-lebih 200 tahun sejak wafatnya Rasulullah SAW.
  2. 2. Sejak berkembangnya agama Islam dan mulai dipeluk oleh bangsa-2 non-Arab (Ajam), maka Bahasa Arab juga ikut terpengaruh oleh bahasa-2 non-Arab, yang membawa perubahan dalam pengucapan maupun pemaknaan Bahasa Arab baik yang lisan maupun yang tertulis. Hal ini dialami juga oleh Hadist yang pada masa itu masih berupa khazanah lisan Bahasa Arab.
  3. 3. Sejak awalnya Bahasa Arab tergolongan sebagai bahasa yang cukup kompleks, dimana perbedaan pengucapan satu huruf saja pada sebuah kata, dapat mengakibatkan terjadinya perubahan arti pada kata yang bersangkutan. Suatu khazanah lisan seperti halnya hadist sangat riskan terhadap perbedaan pengucapan kata, yang memungkinkan terjadinya perubahan arti atau makna pada hadist yang bersangkutan.
  4. 4. Seperti halnya bahasa lainnya, maka banyak kata di dalam bahasa Arab yang mempunyai beberapa arti. Hal ini memungkinkan terjadinya pergantian atau perubahan arti sebuah kata yang terdapat didalam sebuah hadist, yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya perubahan arti dan makna pada hadist yang bersangkutan.
  5. 5. Tidak semua ahli/penyusun hadist (“Muhadditsin”) menguasai seluk-beluk dan perkembangan bahasa Arab, bahkan ada diantara para muhadditsin yang bukan orang Arab. Contohnya adalah para penyusun Kuttubus Sittah (Kitab Hadist yang Enam) yang diakui dikalangan Golongan Suni, yaitu Bukhari, Muslim, Tarmudzi, Nadzai, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, kesemuanya adalah bukan orang Arab. Sehingga hadist-2 yang dicatat dan dihimpun kedalam kitab-2 hadist adalah hadist2 sesuai dengan susunan kalimat dan makna yang berlaku pada masanya dicatat saja. Padahal hadist tersebut sudah berbeda dengan kondisinya ketika hadist termaksud pertama kali muncul berdasarkan asbabul wurud-nya.
  6. 6. Situasi dan kondisi umat Islam pada saat pencatatan hadist dilakukan juga ikut mempengaruhi pemahaman dan pemaknaan terhadap hadist yang bersangkutan.
Perubahan makna atas hadist “ikhtilaf umati rahma” juga terjadi karena adanya faktor2 di atas. Pada awalnya menurut asbabul wurud-nya hadist ini bermakna “hilir-mudiknya umatku adalah rahmat” tetapi ketika hadist ini dicatat dan dihimpumn kedalam kitab hadist, maknanya telah berubah menjadi “perbedaan pendapat (dikalangan) umati adalah rahmat”.

Perubahan makna yang prinsipiil ini juga ikut dipengaruhi oleh kondisi dan situasi umat Islam pada saat dicatatnya hadist yang bersangkutan pada sekitar tahun 150 H s/d 250 H. Dimana kala itu umat Islam telah terpecah-pecah kedalam beberapa golongan dan mazhab sebagai akibat perbedaan pendapat dikalangan para ulama Islam. Sehingga hadist “perbedaan pendapat (dikalangan) umatku adalah rahmat” dianggap cocok untuk menjawab kondisi dan situasi umat Islam pada masa itu, dan hadist dengan makna ini dinilai dapat dijadikan landasan pembenaran (legitimasi) atas kenyataan yang ada, sekalipun kondisi dan situasi umat Islam yang terpecah belah itu bertolak-belakang dengan suruhan Allah SWT agar umat Islam jangan berbeda pendapat dan hendaknya bersatu-padu.

Penutup
Hadist yang dimaknai sebagai “perbedaan pendapat (dikalangan) umatku adalah rahmat” ini ikut memberikan andil yang besar di dalam melanggengkan (melestarikan) perpecahan dan peng-kotak2an dilingkungan umat Islam sampai saat ini. Hadist ini ikut menyuburkan sikap mengutamakan perbedaan pendapat daripada mengutamakan sikap mencari kesamaan pendapat terhadap perbedaan2 yang timbul maupun yang sudah ada sebelumnya. Bukankah menurut hadist ini jika berbeda pendapat, maka masing2 pihak yang berbeda pendapat itu akan meperoleh rahmat dari Allah SWT.

Disamping itu jika digunakan parameter yang diberikan oleh Rasulullah SAW berkenaan dengan ke-sahihan matan (isi) sebuah hadist sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka hadist bermakna “perbedaan pendapat (dikalangan) umatku adalah rahmat” jelas sekali tidak memenuhi persyaratan sebagai hadist yang sahih, karena bertentangan dengan Al Qur’an.

Berdasarkan kesemuanya ini, maka perlu kiranya hadist “ikhtilaf umati rahma” dikembalikan ke makna aselinya sebagaimana asbabul wurudnya, yaitu “hilir-mudiknya umatku adalah rahmat”.

Referensi artikel persis
[1] Achmad Sunarto dkk., Tarjamah Shahih Bukhari, Buku-6, Penerbit: CV. Asy Syifa-Semarang, Hadist Nomor-4771, halaman 614
[2] Ibid., Hadist Nomor-4756, halaman 603
[3] Ibid., Hadist Nomor-4757, halaman 604

Share :